Habibie Lokal
Jauh sebelum ini, kita adalah rangkaian kisah yang saling berkaitan.
Betapa banyak cerita dulu yang berdampak pada sekarang. Hidup rupanya
bukan untuk sekedar hari ini, besok, atau berpuluh tahun yg akan datang.
Hidup itu turun-temurun. Turun terus menerus. Bergenerasi. Melanjutkan
DNA. Menyimpan kisah-kisah yang mungkin berlanjut pada anak cucu. Siapa
sangka.
***
Satu hari di bulan suci terniatlah dalam hati
untuk mengcreate kegiatan berbagi kebaikan di kampung, sebuah program
sosial dari lembaga filantropi Dompet Dhuafa. Sasarannya adalah kaum
dhuafa dan anak yatim piatu.
Rapat daring, rapat luring, riset
kecil-kecilan, hingga sampailah pada survey lokasi. Cukup sulit
menemukan lokasi dengan lingkungan masyarakat yang mendukung sekaligus
dihuni oleh banyak kaum dhuafa serta anak yatim piatu. Akhirnya, setelah
berbagai pertimbangan kami putuskan untuk menggabungkan dua kriteria
tersebut pada satu tempat. Lingkungan masyarakat yang mendukung menjadi
pilihan lokasi kegiatan sedangkan kaum dhuafa dan anak yatim piatu kami
mobilisasi ke lokasi tersebut.
Ada beberapa panti asuhan di kota
ini. Dari sekian yang kami kunjungi ada satu panti yang agak beda dari
biasanya, unik, dan menginspirasi. Sebuah yayasan yang diberi nama
Wahdini oleh pendirinya yang seorang tunanetra dan biasa di panggil Pak
Juju.
***
Ketika kami berucap salam, matanya seolah meraba-raba dan berkata, "Waalaikumsalam, silahkan masuk, dengan siapa ya?"
Kami memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud serta tujuan sedangkan
Pak Juju mendengar dengan hati-hati. Kami usai berucap. Beliau
tersenyum dan bergumam, "Alhamdulillah."
Yayasan Wahdini
dahulunya fokus dalam upaya pemberdayaan tunanetra. Yayasan ini
berdiri atas kepedulian pendirinya kepada sesama tunanetra yang ia
yakini memiliki potensial yang luar biasa untuk diberi pembinaan. Pak
Juju bercerita banyak tentang dirinya dan awal mula yayasan Wahdini
terbentuk, "Dik, Bapak dulu adalah seorang dosen yang tidak lama lagi
akan diangkat menjadi PNS." beliau berhenti sejenak dan melanjutkan,
"Menjelang pengangkatan tersebut, Bapak mendapat tawaran kerjasama untuk
mendirikan yayasan ini."
Pak Juju tanpa ragu dan semangat
menerima tawaran tersebut. Beliau sangat peduli sekali akan masa depan
para tunanetra. Menurutnya, harus ada orang-orang yang memberikan
perhatian lebih. Selama beberapa tahun ke belakang dan sampai dengan hari
ini, Pak Juju tetap istiqomah mencari para tunanetra untuk diberikan
pembinaan. Ada yang menerima, tak menutup pun ada yang menolak.
Pak Juju bercerita, "Pernah suatu waktu Bapak ingin mengajak seseorang
agar diberikan pembinaan di Yayasan Wahdini berupa belajar Al-Qur'an dan
keterampilan yang dapat membantu tunanetra berkarya dalam hidupnya."
kemudian beliau melanjutkan, "Tetapi, bukan perjuangan namanya kalau tidak
ada rintangan, kami ditolak oleh pihak keluarga. Mereka merasa hal
tersebut tidak perlu dilakukan. Walau demikian kami tetap berusaha
meyakinkan. Sebab kebanyakan tunanetra yang kami temui tidak terbina
dengan baik." jelas beliau.
Walau hari ini yayasan Wahdini fokus
pada pembinaan anak yatim piatu dan dhuafa, namun tidak menutup untuk
para tunanetra bergabung bersama yayasan tersebut. "Sekarang memang ada
sekitar 30 anak disini, tetapi maksud untuk memberdayakan para tunanetra
tetap akan menjadi bagian perjuangan kami."
Tak berhenti sampai
disitu, sampai hari ini Pak Juju dibantu istrinya terus melakukan
pengembangan terhadap ternak ayam higienis. Ternak ayam tersebut
sebagian dijual kepada pedagang dan sebagian lagi diolah menjadi makanan
ayam geprek. Alhasil, ternak ayam higienis tersebut menjadi salah satu
sumber pendanaan yayasan Wahdini, bahkan membuka lapangan pekerjaan, "ada
2 pegawai saya di sini yang fokus mengurusi ternak ayam higienis, saya
janjikan kepada mereka kalau bulan ini tembus target akan saya naikkan
gajinya," tutur Pak Juju.
Satu hal yang menjadi kekhasan Pak Juju
adalah kegemaran beliau untuk riset dan berinovasi. Salah satu produk
hasil dari riset yang berkali-kali trial and error ia lakukan adalah
pakan organik untuk ayam higienis. "Saya berapakali gagal itu dek.
Tetapi saya penasaran terus. Sampai akhirnya, Alhamdulillah berhasil!"
cerita beliau.
Dengan keterbatasan sebagai penyandang Tunanetra
tidak lantas membuat Pak Juju lemah atau putus asa. Kekurangan tersebut
justru sumber semangat beliau, "Bila kesempurnaan hanya dinilai dari
fisik, maka artinya yang cacat fisik tidak sempurna." getirnya dan
melanjutkan, "Padahal Allah menciptakan makhluknya dengan penciptaan
paling sempurna bukan?" sembari tersenyum, sosok beliau kembali membuat
kami kagum.
Melihat Pak Juju, rasanya tidak berlebihan kalau saya
katakan beliau seperti berguru pada Almarhum B.J. Habibie. Pak Juju
bagai 'habibie lokal' yang mewakafkan semangat dan kecerdasannya agar
bermanfaat bagi banyak orang tanpa berharap imbalan apapun selain
keberkahan dan ridho illahi.
Ditulis part time sejak 19 hingga 21 September 2019 di Jl. Gatot Subroto No. 161.

2 komentar
Waah, ditulis tahun 2019. Dipost awal 2020. Ku bacanya menjelang akhir 2020 nih kak 😀
REPLYDan kk balas, awal tahun 2021, Do. Alhamdulillah :)
REPLYBerikan komentar terbaikmu :)