Terkulainya Sanggul Ibu Kartini (Terisnpirasi dari Kisah Nyata)
“Sampai
sejauh ini apakah masih ada yang belum jelas?” tanya Buk Yul panggilan akrab
guru Matematika sekaligus wali kelas di kelas 5 SD 1 harapan. Semua anak di kelas
itu hanya diam dan beberapa menggelengkan kepala pertanda pelajaran cukup
jelas, terkecuali satu murid yang berada tepat di tengah ruangan dan duduk di depan
deretan.
Acungan
jari telunjuk sembari menawarkan diri untuk bertanya, menjadi pemecah suasana
tegang dalam ruangan yang cukup bersih dan indah itu.
“Ya,
kamu Ta apa yang belum jelas?“ tanggap Buk Yul. Anak
itupun berdiri tanpa terlihat gugup sedikitpun. “Terimakasih Buk, bagaimana
mencari hasil akar bilangan desimal Buk?” tanyanya singkat.
Buk
Yul terdiam sejenak memikirkan pertanyaan seorang anak kelas 5 SD yang tak
disangka-sangkanya. Namun tak berlangsung lama, wali kelas yang tak pernah
senyum ini kembali melihatkan wibawanya.
“Baik
anak-anak, teman kalian ada yang bertanya hal seperti itu apakah ada yang bisa
menjawab?” seolah-olah sudah tau jawaban dari murid yang lain, Buk Yul langsung
melanjutkan kalimatnya, “Kalau begitu pertanyaan tadi menjadi PR buat kalian”.
***
Teng...
Teng... Teng...
Guru-guru
keluar dari kelas yang diajar. Murid-murid berlari-lari senang. Luar pagar
terlihat ramai Ibu dan Bapak yang ingin menjemput anaknya. Lonceng telah dibunyikan menandakan pelajaran
pada hari itu telah selesai.
Anak
kecil itu masih pula dalam ruang yang kini tak berpenghuni. Berada didepan dan tidak
berapit pada sudut-sudut tembok. Keningnya berlipat-lipat menyatu seirama dengan
alis hitam melengkung. Peluh mulai terasa.
Brakk!!
Bunyi khas yang tak asing lagi ditelinganya.
“Tunggu
mang, meta masih di dalam,” ia bergegas memasukkan alat tulis dan menghampiri
sumber suara tadi.
Mang
Min-panggilan akrab penjaga sekolah-sedikit terkejut dan membuka pintu itu
kembali.
“Nah,
dek kenapa belum pulang?” tanya Mang Min Sambil mengusap-usap rambut anak kecil yang sedikit kusam itu.
“Dari
ngerjain PR Mang." terlihat senyum keceriaannya yang disertai peluh membasah
sekitar kening.
“Ooh, sekarang pulang ya?”
“Iya
mang, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Mang
Min paham betul bahwa, meta adalah anak yang pintar sekaligus kurang mampu. Oleh
sebab itu, mang min mengerti mengapa ia belum pulang. Sebab yang pertama karena
ia pintar, sehingga nyaman dikelas dan kedua anak ini miskin yang menyebabkan ia
harus pulang berjalan, tak seperti teman lainnya yang di antar-jemput orangtua.
***
Ruang
kecil diselundupi oksigen berkecepatan tak biasa. Celah-celah lingkaran
Menembus jendela tak berselimut. Kursi
tua masih setia dihadapan televisi butut. Cukup! Tempat itu hanya untuk
berlindung dari sengatan matahari dan hembusan angin bahkan tak jarang kedua
fungsi itu hanyalah kata-kata terakhir dalam pendefinisian.
Di
tempat kontrakan keluarga yang berjumlah 7 jiwa.
“Kenapa
pulangnya enggak tepat waktu lagi Ta?” tanya Umak yang telah pulang terlebih dahulu dari berjualan ikan di pasar.
“Iya
Mak Meta ngerjain PR dulu di sekolah” meletakkan sepatu dan menyalami Umak.
“Ada
PR kok dikerjain disekolah, coba sini Umak
lihat”
Meta
membuka tas dan memberikan buku kepada umak
“Udah selesai kok Mak”
Umak
hanya membolak-balikkan kumpulan kertas putih itu dan kemudian tersenyum lebar.
“Betapa bangganya mempunyai anak
sepertimu Nak.” dalam hati umak bergumam.
***
Matahari baru mulai merangkak dari
persinggahannya. Unggas-unggas belum sempat berpadu ria suara. Di jalan masih
lengang dari mesin-mesin kendaraan. Sunyi dalam kediaman.
Ia berangkat lebih pagi dari
biasanya. Menyusuri jalanan berkerikil tajam sambil bergumam-gumam. Menaruh asa
terhadap impian-impian kelak. Tak hiraukan kondisi sekarang, tidak penting
bagaimana cara tuhan. Baginya, berani bermimpi sudah cukup.
***
Brak! Suara khas itu lagi. Buk Yul
adalah satu-satunya guru disekolah itu yang setiap kali mengajar selalu menutup
pintu kelas.
Tak
berapa lama kemudian Buk Yul sudah di depan papan tulis hitam, "Apakah
kalian sudah melihat tenda yang ada di lapangan?” tanya Buk Yul setelah
mengucapkan salam.
“Sudah Buk... ” jawab beberapa anak di kelas
itu dan suasana menjadi gaduh kemudian tenang kembali. Buk
Yul menatap sinis semua murid, “Sebelum kita belajar, ibu akan memberitahu
terlebih dahulu bahwa besok adalah peringatan hari kartini.” lanjutnya, "Dan
kalian diwajibkan berpenampilan ala ibu Kartini, mengerti?” lanjut Buk Yul.
“Mengerti
Buk...” jawab murid-murid.
“Bagus,
kita lanjutkan belajar,” Buk Yul berdiri dan mulai menjelaskan seperti biasa
ia menjelaskan. Dengan nada tinggi dan gerakan tangan yang membentang.
Kata
terakhir yang terdengar adalah jawaban mengerti dari teman-temannya tadi.
Sedangkan kalimat selanjutnya seolah terkubur bersama bayangan penampilan Ibu
Kartini.
***
Hari
itu, Meta memang lebih pagi datang ke sekolah namun pulang pun ia lebih awal
tak seperti biasanya. Pikirannya kini masih sama seperti di dalam kelas, namun
sedikit lebih berkembang.
“Penampilan ala Ibu Kartini; sanggul, wajah ,
dan kebaya? Bagaimana bisa aku berpenampilan seperti itu. Pasti aku harus ke
salon. Huh! Mana ada uang..” dalam hati meta bertanya-tanya saat
perjalanan pulangnya.
Anak
ini tahu betul kondisi ekonomi keluarganya. Ibunya yang hanya seorang penjual
ikan di pasar selalu kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang
berjumlah 7 jiwa, apalagi untuk ke salon. Belum lagi kakak dan adiknya yang
selalu meminta uang. Sedangkan bapaknya adalah seorang pengangguran.
***
Jam
dinding berdetak layak jantung gugup. Unggas-unggas seperti dipaksa untuk
bersuara. Dingin tak lagi menusuk jiwa-jiwa gagah karena terlalu biasa. Semua
tak ubah bagaikan khayalan di pagi buta.
Tak
hadir dalam acara peringatan hari kartini telah menjadikannya tak bersekolah
hingga saat ini. Tuntutan sekolah untuk berpenampilan ala Ibu Kartini tak mampu
iya penuhi karena tidak ada uang. Dan siapa sangka hal itu membuat Meta tak
ingin sekolah untuk selama-lamanya.
5 komentar
miris -_- untung kartini modern udh pake jilbab :D
REPLYkartini modern . . . :D
REPLYpakai jilbab + good attitude y dek :)
Menarik dan Inspiratif, :)
REPLYCerpennya bagus kak. Kalimatnya sederhana tetapi memiliki diksi dan majas yg bagus. Cerpennya open ending ya kak? Boleh Destari tau kalo dari sudut pandang penulis kenapa tokoh Meta tdk ingin lg bersekolah dengan alasan tidak bisa berpenampilan seperti Kartini dan hadir di hari acara perayaan hari Kartini? Padahal tokoh Meta memiliki semangat belajar yg sangat tinggi Kak.
REPLYiya dek. banyak yg protes gitu. Kok meta yg punya semangat belajar, malah putus sekolah gara2 hal 'sepele'.
REPLYSebenernya, semangat belajar gak bisa kita similiar kan dengan psikologi, mental, dll. Umur meta dlm cerita ini berkisar 10-12 tahun. msh sangat rentan mentalnya. Nah, hal ini yg menurut Kk msh kurang jd perhatian beberapa pendidik
Berikan komentar terbaikmu :)