Monday 21 April 2014



“Sampai sejauh ini apakah masih ada yang belum jelas?” tanya Buk Yul panggilan akrab guru Matematika sekaligus wali kelas di kelas 5 SD 1 harapan. Semua anak di kelas itu hanya diam dan beberapa menggelengkan kepala pertanda pelajaran cukup jelas, terkecuali satu murid yang berada tepat di tengah ruangan dan duduk di depan deretan.

Acungan jari telunjuk sembari menawarkan diri untuk bertanya, menjadi pemecah suasana tegang dalam ruangan yang cukup bersih dan indah itu.

Ya, kamu Ta apa yang belum jelas?“ tanggap Buk Yul. Anak itupun berdiri tanpa terlihat gugup sedikitpun. “Terimakasih Buk, bagaimana mencari hasil akar bilangan desimal Buk?” tanyanya singkat.

Buk Yul terdiam sejenak memikirkan pertanyaan seorang anak kelas 5 SD yang tak disangka-sangkanya. Namun tak berlangsung lama, wali kelas yang tak pernah senyum ini kembali melihatkan wibawanya.

“Baik anak-anak, teman kalian ada yang bertanya hal seperti itu apakah ada yang bisa menjawab?” seolah-olah sudah tau jawaban dari murid yang lain, Buk Yul langsung melanjutkan kalimatnya, “Kalau begitu pertanyaan tadi menjadi PR buat kalian”.
***
Teng... Teng... Teng...
Guru-guru keluar dari kelas yang diajar. Murid-murid berlari-lari senang. Luar pagar terlihat ramai Ibu dan Bapak yang ingin menjemput anaknya.  Lonceng telah dibunyikan menandakan pelajaran pada hari itu telah selesai.

Anak kecil itu masih pula dalam ruang yang kini tak berpenghuni. Berada didepan dan tidak berapit pada sudut-sudut tembok. Keningnya berlipat-lipat menyatu seirama dengan alis hitam melengkung. Peluh mulai terasa.

Brakk!! Bunyi khas yang tak asing lagi ditelinganya.
“Tunggu mang, meta masih di dalam,” ia bergegas memasukkan alat tulis dan menghampiri sumber suara tadi.

Mang Min-panggilan akrab penjaga sekolah-sedikit terkejut dan membuka pintu itu kembali.

“Nah, dek kenapa belum pulang?” tanya Mang Min Sambil mengusap-usap rambut anak kecil yang sedikit kusam itu.

“Dari ngerjain PR Mang." terlihat senyum keceriaannya yang disertai peluh membasah sekitar kening.

“Ooh,  sekarang pulang ya?”
“Iya mang, Assalamu’alaikum
Wa’alaikumsalam

Mang Min paham betul bahwa, meta adalah anak yang pintar sekaligus kurang mampu. Oleh sebab itu, mang min mengerti mengapa ia belum pulang. Sebab yang pertama karena ia pintar, sehingga nyaman dikelas dan kedua anak ini miskin yang menyebabkan ia harus pulang berjalan, tak seperti teman lainnya yang di antar-jemput orangtua.

***

Ruang kecil diselundupi oksigen berkecepatan tak biasa. Celah-celah lingkaran Menembus jendela tak berselimut. Kursi  tua masih setia dihadapan televisi butut. Cukup! Tempat itu hanya untuk berlindung dari sengatan matahari dan hembusan angin bahkan tak jarang kedua fungsi itu hanyalah kata-kata terakhir dalam pendefinisian.

Di tempat kontrakan keluarga yang berjumlah 7 jiwa.
“Kenapa pulangnya enggak tepat waktu lagi Ta?” tanya Umak yang telah pulang terlebih dahulu dari berjualan ikan  di pasar.

“Iya Mak Meta ngerjain PR dulu di sekolah” meletakkan sepatu dan menyalami Umak.

“Ada PR kok dikerjain disekolah, coba sini Umak lihat”
Meta membuka tas dan memberikan buku kepada umak “Udah selesai kok Mak”

Umak hanya membolak-balikkan kumpulan kertas putih itu dan kemudian tersenyum lebar. “Betapa bangganya mempunyai anak sepertimu Nak.” dalam hati umak bergumam.

***

      Matahari baru mulai merangkak dari persinggahannya. Unggas-unggas belum sempat berpadu ria suara. Di jalan masih lengang dari mesin-mesin kendaraan. Sunyi dalam kediaman.

    Ia berangkat lebih pagi dari biasanya. Menyusuri jalanan berkerikil tajam sambil bergumam-gumam. Menaruh asa terhadap impian-impian kelak. Tak hiraukan kondisi sekarang, tidak penting bagaimana cara tuhan. Baginya, berani bermimpi sudah cukup.

                                                 ***

       Brak! Suara khas itu lagi. Buk Yul adalah satu-satunya guru disekolah itu yang setiap kali mengajar selalu menutup pintu kelas.

Tak berapa lama kemudian Buk Yul sudah di depan papan tulis hitam, "Apakah kalian sudah melihat tenda yang ada di lapangan?” tanya Buk Yul setelah mengucapkan salam. 

 “Sudah Buk... ” jawab beberapa anak di kelas itu dan suasana menjadi gaduh kemudian tenang kembali. Buk Yul menatap sinis semua murid, “Sebelum kita belajar, ibu akan memberitahu terlebih dahulu bahwa besok adalah peringatan hari kartini.” lanjutnya, "Dan kalian diwajibkan berpenampilan ala ibu Kartini, mengerti?” lanjut Buk Yul.
“Mengerti Buk...” jawab murid-murid.
“Bagus, kita lanjutkan belajar,” Buk Yul berdiri dan mulai menjelaskan seperti biasa ia menjelaskan. Dengan nada tinggi dan gerakan tangan yang membentang.

Kata terakhir yang terdengar adalah jawaban mengerti dari teman-temannya tadi. Sedangkan kalimat selanjutnya seolah terkubur bersama bayangan penampilan Ibu Kartini.

***

Hari itu, Meta memang lebih pagi datang ke sekolah namun pulang pun ia lebih awal tak seperti biasanya. Pikirannya kini masih sama seperti di dalam kelas, namun sedikit lebih berkembang.

Penampilan ala Ibu Kartini; sanggul, wajah , dan kebaya? Bagaimana bisa aku berpenampilan seperti itu. Pasti aku harus ke salon. Huh! Mana ada uang..” dalam hati meta bertanya-tanya saat perjalanan pulangnya.

Anak ini tahu betul kondisi ekonomi keluarganya. Ibunya yang hanya seorang penjual ikan di pasar selalu kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang berjumlah 7 jiwa, apalagi untuk ke salon. Belum lagi kakak dan adiknya yang selalu meminta uang. Sedangkan bapaknya adalah seorang pengangguran.

***

   Jam dinding berdetak layak jantung gugup. Unggas-unggas seperti dipaksa untuk bersuara. Dingin tak lagi menusuk jiwa-jiwa gagah karena terlalu biasa. Semua tak ubah bagaikan khayalan di pagi buta.

Tak hadir dalam acara peringatan hari kartini telah menjadikannya tak bersekolah hingga saat ini. Tuntutan sekolah untuk berpenampilan ala Ibu Kartini tak mampu iya penuhi karena tidak ada uang. Dan siapa sangka hal itu membuat Meta tak ingin sekolah untuk selama-lamanya.


5 komentar

miris -_- untung kartini modern udh pake jilbab :D

REPLY

kartini modern . . . :D
pakai jilbab + good attitude y dek :)

REPLY

Menarik dan Inspiratif, :)

REPLY

Cerpennya bagus kak. Kalimatnya sederhana tetapi memiliki diksi dan majas yg bagus. Cerpennya open ending ya kak? Boleh Destari tau kalo dari sudut pandang penulis kenapa tokoh Meta tdk ingin lg bersekolah dengan alasan tidak bisa berpenampilan seperti Kartini dan hadir di hari acara perayaan hari Kartini? Padahal tokoh Meta memiliki semangat belajar yg sangat tinggi Kak.

REPLY

iya dek. banyak yg protes gitu. Kok meta yg punya semangat belajar, malah putus sekolah gara2 hal 'sepele'.

Sebenernya, semangat belajar gak bisa kita similiar kan dengan psikologi, mental, dll. Umur meta dlm cerita ini berkisar 10-12 tahun. msh sangat rentan mentalnya. Nah, hal ini yg menurut Kk msh kurang jd perhatian beberapa pendidik

REPLY

Berikan komentar terbaikmu :)

Peradaban Muda . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates