Sunday, 10 May 2020



Bug!” kepalan tangan Fattah menghantam dinding kontrakan. “Mau kamu apa sih, Riz?” geram Fattah sesaat setelah Hariz terus menerus menyudutkannya dengan pertanyaan.

Hariz terkejut untuk beberapa detik. Matanya terbelalak tak menyangka, perdebatan malam ini telah menyulut emosi sahabat karibnya tersebut. “Weh, Biasa aja Fat,” jawab Hariz dengan bibir sedikit bergetar. 

“Kalau kamu ingin jawaban,” susul Fattah kemudian, “Kamu tanya saja dengan Kak Firman, syabab Gema Pembebasan yang lebih senior dari aku!” Fattah duduk dari aksi menantang tadi dan memalingkan badannya, “Atau, kamu ikut langsung halaqah kami, biar tahu!”

Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Hariz setalah itu. Ia hanya diam dan mengeluarkan gawai, berharap suasana hatinya tenang kembali. Hening mulai mengisi tiap sudut ruang kontrakan mereka. Suara kendaraan di depan gang kecil tak bertahan lama untuk memecah kesunyian. Mendadak keduanya merasa canggung, perkenalan mereka seperti kembali pada titik awal. Malam seakan-akan telah berada di puncak terakhir, padahal isha baru selesai ditegakkan. Baik Hariz dan Fattah sebenarnya tidak menginginkan keadaan seperti itu. Mereka hampir tiap hari berdebat tentang apa pun, termasuk tentang Khilafah. Tetapi untuk malam ini, perdebatan itu memang sengit. Sangat sengit.

***
Hariz dan Fattah adalah mahasiswa di kampus negeri ternama. Mereka berteman sejak masih duduk di bangku SMA. Selama tiga tahun berseragam putih abu-abu, Hariz dan Fattah selalu satu kelas dan sebangku.  Persahabatan keduanya telah membuat teman-teman di sekitar mereka memberi julukan, ‘bagai pinang dibelah dua’. Di mana ada Hariz, di situ ada Fattah. Berlaku untuk sebaliknya. Meski Hariz di Fakultas Teknik dan Fattah di Fakultas Hukum, tidak menyurutkan persahabatan di antara keduanya. Mereka terpisah saat kuliah di dalam kelas. Setelah itu, mereka akan bertemu kembali di kantin, seminar, dan yang pasti dalam kontrakan yang mereka sewa bersama. 

Persahabatan yang mereka jalin bukan berarti meniadakan perdebatan. Fattah yang aktif di organisasi Gema Pembebasan sejak awal masuk kuliah, sering mengikuti kajian dan halaqah. Begitupun dengan Hariz yang tak kalah sibuk dengan kegiatan Lembaga Dakwah Fakultas seperti mentoring dan liqo’. Keduanya memiliki peran besar pada organisasi dakwah masing-masing. Maka tak heran, ketika sedang makan bersama di kantin atau kembali ke kontrakan, mereka kini lebih sering berdiskusi tentang gerakan dakwah dan berujung pada perdebatan. 

“Kamu sudah dengar berita tentang RUU KPK, Fat?” tanya Hariz suatu hari ketika mereka makan bersama di kantin Teknik.

 “Belum,” tanggap Fattah setelah meneguk minuman, “Ada apa memang?” 

Hariz mengernyitkan dahi, “Masa kamu belum tahu, itu tentang RUU KPK yang mau direvisi lagi.” Hariz menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan, “Salah satu yang jadi kontroversi adalah adanya dewan pengawas di dalam struktur KPK.”

“Oh, itu. Iya, aku sudah tahu.” tanggap Fattah datar.

“Dewan pengawas ini diberi wewenang yang cukup strategis lo!” Hariz meletakkan kedua tangannya di atas meja dan matanya mengawasi keadaan sekitar, “Tindakan OTT atau operasi tangkap tangan yang selama ini jadi senjata KPK, harus izin dulu dengan dewan pengawas,” sembari mengangkat tangan setinggi dada, “Apa enggak makin tumpul tuh, KPK?” tanya Hariz keheranan.

Bukannya menjawab, Fattah malah balik bertanya, “Terus, bagaimana respons Presiden kamu?”

“Presiden Indonesia kali,” jawab Hariz ketus, “Belum ada respons yang signifikan. Aku berharap, semoga beliau mengeluarkan Perppu KPK.” lanjutnya dengan nada ragu.

Fattah tersenyum sinis, “Begini kalau kita berada pada sistem demokrasi.” matanya bertumpu pada satu titik, “Dalam demokrasi, hal-hal yang sudah haram saja masih bisa dimusyawarahkan. Padahal, manusia tidak memiliki wewenang untuk menetapkan sebuah hukum. Contoh masalah korupsi ini.” tangan Fattah berayun-ayun seirama dengan perkataan, “Tidak ada perdebatan lagi. Korupsi itu haram. Maka, dalam penindakannya pun harus tegas. Bukan malah memperlemah.”  

“Tapi, teman-teman di organisasi anti korupsi sedang menempuh jalur konstitusi kok, Fat.” sanggah Hariz kemudian, “Belum lagi mahasiswa se-Indonesia, yang akan aksi besar-besaran meminta Presiden mengeluarkan Perppu.”

Raut wajah Fattah jadi makin serius, “Perjuangan itu gak akan terlalu berpengaruh Riz,” sela Fattah tak mau berharap, “Selama kita masih memakai sistem demokrasi, bukan benar atau salah yang menjadi pertimbangan. Tetapi, banyak atau sedikit.” sambungnya kembali, “Bahkan, orang gila sekalipun sama kedudukannya dengan orang normal seperti kita dalam memberikan suara!”

Hariz mendengus sedetik, “Kalau diskusi dengan kamu, ujung-ujungnya pasti menyalahkan sistem. Seperti tidak ada yang bisa dimanfaatkan saja dari demokrasi, untuk keadaan kita saat ini.”

“Memang itulah inti dari masalah bangsa ini Riz. Salah sistem.” Tatapan Fattah meyakinkan, “Seharusnya, kita berjuang untuk mewujudkan sistem Khilafah. Itulah sistem politik Islam. Khilafah tidak sama dengan sistem diktator atau demokrasi. Salah satu prinsip penting dari Khilafah, yang sekaligus membedakan dari sistem lainnya adalah kedaulatan,” makin menggebu-gebu suara Fattah, “Yakni hak untuk menetapkan hukum, yang menentukan benar dan salah, yang menentukan halal dan haram, ada di tangan syariat, bukan di tangan manusia!

“Aku juga tahu itu, Muhammad Fattah Izzulhaq.” Hariz duduk berkacak pinggang, “Aku juga merindukan kehidupan syariat di zaman Rasulullah, dan para penerus selanjutnya pada abad-abad kejayaan tersebut.” suaranya tenang namun berusaha tidak menggurui, “Tetapi, tidak kah kau melihat bahwa, kaum muslimin juga bisa berjuang di kursi parlemen, untuk menyuarakan hak-hak yang berkaitan dengan syariat?”

“Apa contohnya?” susul Fattah.

“Undang-undang perbankan syariah,” dengan yakin Hariz menyebutkan, “Undang-undang tentang pengelolaan zakat, tentang penyelenggaraan haji dan umrah.” sambungnya kembali, “Semua itu adalah hasil dari perjuangan muslimin yang ada di parlemen, pemerintahan, dalam sistem!” tutup Hariz.

Fattah memalingkan muka sebelum berkata, “Aku tidak melihat itu sebagai upaya menuju kepemimpinan Islam.”

Wooyy!” tiba-tiba seonggok manusia telah bertengger di belakang mereka. Marsum, tetangga kontrakan Fattah yang selalu ingin disebut kurus. Padahal, jauh panggang dari api. “Klean serius kali,” potong Marsum dengan nada khas orang medan berjalan mendekati keduanya. Sekejap kemudian ia telah duduk manis 

“Haduh, kamu ini Marsum, kirain siapa teriak-teriak.” Hariz melepas kesal.

Hehe, ya lah. bukan Marsum namanya kalau…” belum sampai selesai berkata, mata Marsum melirik meja, “Aku cicip makananmu ya, Riz.” Marsum asal comot, “nah, minumnya aku cicip punya kamu ya, Fat.”

“Huh, Dasar!” teriak Fattah dan Hariz serempak.

Kedatangan Marsum telah mencairkan suasana serius di antara Hariz dan Fattah. Mereka tidak tertarik lagi membahas tentang yang berbau ideologi. Pembicaraan telah bergeser pada senda gurau dan aktivitas perkuliahan. Namun, sukma dua sahabat tersebut masih terus menerawang. Mengais-ngais sisa debat barusan. Kalau-kalau, ada yang bisa dicerna menjadi pengetahuan dan antitesis dari segala hipotesis yang diyakini selama ini. Begitulah hari-hari Fattah dan Hariz setelah menjadi mahasiswa. Penuh dengan diskusi dan tak jarang berujung pada perdebatan sampai pada titik keyakinan dan ideologi.

***
Sunyi telah menyelimuti tiap sudut kota. Daerah yang dijuluki kota santri dan kaum cendekiawan tersebut telah lelap dibawa detik waktu. Suara jangkrik mulai terdengar jelas di setiap rumah. Dua pasang bola mata masih berusaha menuju kantuk yang dari tadi tertahan amigdala.  Pikiran dan imajinasi keduanya telah berkolaborasi, menahan mereka dari tidur sejak perdebatan sengit. Hanya rak buku mini yang memisahkan tempat tidur Hariz dan Fattah. Mereka berlomba menuju garis terakhir kebosanan, sebelum akhirnya benar-benar lepas dari cengkraman pikiran.

Di halaqah yang diikuti Fattah dan liqo’ yang ditekuni oleh Hariz, kedua model pengajian itu tidak pernah mengajarkan permusuhan. Justru sebaliknya, murabbi mereka selalu menekankan untuk selalu menjaga ukhuwah sesama muslim, termasuk dari gerakan dakwah yang lain. Selama ia masih berpegang teguh pada Ahlul-Sunnah, maka selama itu juga mereka tidaklah menyimpang. 

Dalam lamunannya yang panjang, Hariz teringat nasehat Ust. Salim A Fillah pada buku Dalam Dekapan Ukhuwah, “Seperti yang dialami Mush’ab,” tulisan itu menjelma suara dalam pikiran Hariz, “Persaudaraan iman jauh lebih kuat, mengalahkan persaudaraan nasab. Dan bahkan persaudaraan nasab seperti tiada, hampa, tak bernilai, jika tiada akidah yang mengikat hati mereka pada satu keyakinan yang sama.”

“Sebentar,” pikir Hariz kemudian, “Antara aku dan Fattah bukan hanya diikat oleh persahabatan yang lama. Lebih dari itu, kami satu akidah. Kami aktif pada gerakan dakwah. Bukankah itu suatu hal yang tak ternilai untuk terus dijaga?”

Astagfirullahaladzim…” getir Hariz pelan. Tanpa sadar, Fattah pun diam-diam beristigfar.

***
Sayup-sayup dari kejauhan mulai terdengar suara ayam berkokok. Dini hari melanjutkan estafet waktu dari tengah malam yang telah selesai dalam tugasnya. Rasa kantuk pada sebagian besar manusia makin menjadi-jadi. Selimut tebal seolah-olah pagar pemisah antara alam dunia dengan alam mimpi. Suasana dingin menambah alasan umat manusia untuk tidur lebih nyenyak. Melupakan peluang salat tahajud pada 1/3 malam. Namun, tidak bagi Hariz dan Fattah yang mulai terbiasa salat malam sejak awal kuliah. Kebiasaan telah membuat mereka terjaga pada waktu-waktu itu, walau tanpa alarm.

Hariz bangun lebih dulu. Ia benar-benar tidak bisa tidur nyenyak karena perdebatan semalam. “Fat, ayo bangun! Tahajud.” celotehnya malas sembari mengayunkan kaki untuk mengambil wudu dan kemudian salat tahajud di masjid.

Tidak lama kemudian, Fattah menyusul di belakang Hariz. Masjid yang mereka tuju tepat berada di depan kontrakan. Hariz dan Fattah biasa salat tahajud berjemaah di Masjid itu. Lalu dilanjutkan dengan tilawah dan menunggu hingga waktu subuh. Tetapi, kali ini suasananya berbeda. Mereka salat sendiri-sendiri. Hariz di depan dekat mimbar, sedangkan Fattah jauh di belakang area salat muslimah. 

Setelah mempersiapkan segala kebutuhan kuliah hari itu, Fattah siap berangkat ke kampus. “Kamu mau bareng aku, enggak?” tanya Fattah cukup malas

“Enggak usah, Fat. Makasih. Aku tadi sudah bilang dengan Marsum, nebeng dia.” jawab Hariz seadanya.

“Oke.” Fattah berangkat dengan rasa kaku.

Hari ini Hariz berencana mengikuti aksi mahasiswa yang digalang oleh teman-temannya di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ia sengaja berangkat bersama Marsum agar setelah perkuliahan selesai, bisa langsung menuju ke titik kumpul massa aksi. “Fattah tentu punya agenda lain bersama Gema Pembebasan,” bisik suara hati Hariz. Marsum aktif di BEM, ia pasti ikut aksi tersebut. Bahkan sebenarnya, Marsum meminta Hariz untuk membantunya menggalang massa.  

Sekitar seribu mahasiswa telah berkumpul di depan gedung DPR/MPR. Mereka akan melakukan long march hingga ke Istana Negara. Salah satu yang menjadi tuntutan dalam aksi tersebut adalah meminta presiden agar mengeluarkan Perppu KPK sebagai pengganti undang-undang KPK terbaru yang telah disahkan oleh wakil rakyat. 

“Berapa suara kita?” teriak orator melalui pelantang suara.

“Satu!” jawab ribuan mahasiswa

Aksi sudah berlangsung lebih dari satu jam di depan gedung DPR/MPR. Hariz berada di antara ribuan mahasiswa tersebut. Ia berada bersama rombongan petinggi BEM. Meskipun aktif di Lembaga Dakwah Fakultas, Hariz cukup dekat dengan beberapa pimpinan BEM Fakultas. Sehingga tidak heran, jika ada aksi seperti ini, Ia selalu mendukung dan ikut terlibat.

“Riz, Hariz!” teriak Marsum keluar dari kerumunan dan mendekati Hariz

“Kenapa, Sum?” tanya Hariz penasaran, “Kamu seperti dari lihat hantu saja.” 

“Iya,” buru Marsum segera, “aku dari lihat hantu siang bolong!” nadanya keras sedikit bercanda.

“Siapa hantunya?” tanya Hariz penasaran 

“Muhammad Fattah Izzulhaq,” bibir Marsum semringah berucap, “Sahabat kamu yang anti demokrasi itu, ikut aksi kita Riz.”

Hariz tidak mudah percaya, “Ah, bukan ketemu hantu. Itu namanya mimpi di siang bolong kamu, Sum.”

“Kata siapa mimpi?” tiba-tiba suara yang dikenal akrab oleh telinga keduanya menyusup di tengah percakapan.

“Fattah?” nada Hariz sedikit ragu

Sejurus kemudian, sosok yang dimaksud muncul dari belakang Marsum. “Iya, Riz. Ini aku, Fattah.”

“Kok, kamu disini?” Hariz masih merasa ada hal yang janggal

“Perkataan kamu tempo hari, ada benarnya.” Fattah mengangguk yakin, “Aksi seperti ini mungkin, tidak akan terlalu berpengaruh. Tetapi ini, bukan tindakan yang salah. Inilah perjuangan yang bisa kita lakukan untuk saat ini.”

Belum sempat Hariz mengungkap bahagia. Fattah melengkapi kalimatnya, “Oh ya, maaf atas perdebatan semalam. Aku enggak bisa mengendalikan amarah.”

“Sama-sama, Fat. Aku juga minta maaf, atas pertanyaanku yang telah menyinggung suatu hal yang kamu yakini.”

“Kok, kayak lebaran aja klean,” potong Marsum heran, “Pakai acara maaf-maafan segala.”

Hariz dan Fattah saling lirik dan berkata, “Emang masalah buat klean!”. Mereka kompak meledek Marsum, disusul cekikikan tawa.

“Ayo kita gabung kedepan, Fat!” ajak Hariz.

“Yuk!” sambung Fattah. 

Mereka berjalan meninggalkan Marsum yang sedang menggarut-garut kepala padahal tidak gatal.

“Bagaimana aksi ini, sejauh yang kamu lihat?”

“Rapi dan kompak. Hanya aku tidak terbiasa dengan slogan hidup mahasiswa!” ujar Fattah lengkap dengan praktek tangan menggepal, “Aku biasanya, takbir, Allahuakbar!” susulnya.

“Ya, aku juga biasanya begitu kali.” sela Hariz saat berjalan bersama Fattah ke depan rombongan aksi.

“Sama satu lagi Hariz Munarman,” sambung Fattah belum selesai, “Bercampur baur antara massa lelaki dan perempuan seperti ini, sungguh dalam gerakan kami adalah hal yang tidak biasa.”

Hariz mengangguk beberapa kali, “InsyaAllah, Fat. Setahap demi setahap hal seperti ini akan kita minimalisir.” simpulnya sebelum melangkah lebih dulu.

Fattah yang selangkah tertinggal dari Hariz berusaha menyusul, “Eh Riz,” suara Fattah terdengar merayu, “Kami akan mengadakan seminar ‘Khilafah Will Reborn’, bantu sebar dan galang massa, ya!”

Hariz terdiam sejenak. Mematung untuk beberapa saat. Benaknya mengumpat habis-habisan. ternyata ada udang di balik batu. Aksi Fattah hari ini bagai sebuah tawaran kerjasama. Upeti tanda kesepakatan sudah dilayangkan. Tinggal menunggu balasan dari sang penerima. Alhasil, perdebatan tidak terelakkan. Saat mahasiswa lain sibuk menyatukan suara dalam aksi gegap gempita, mereka malah asyik berdebat di tengah kerumunan. Sepertinya, begitulah definisi sahabat sejati bagi mereka. Diskusi, bertukar pikiran, dan kawan debat.

1 komentar:

Berikan komentar terbaikmu :)

Peradaban Muda . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates