Silang Saling (Terinspirasi dari Gerakan HTI & PKS)
“Bug!” kepalan tangan Fattah menghantam
dinding kontrakan. “Mau kamu apa sih, Riz?” geram Fattah sesaat setelah Hariz
terus menerus menyudutkannya dengan pertanyaan.
Hariz
terkejut untuk beberapa detik. Matanya terbelalak tak menyangka, perdebatan
malam ini telah menyulut emosi sahabat karibnya tersebut. “Weh, Biasa aja Fat,”
jawab Hariz dengan bibir sedikit bergetar.
“Kalau
kamu ingin jawaban,” susul Fattah kemudian, “Kamu tanya saja dengan Kak Firman,
syabab Gema Pembebasan yang lebih
senior dari aku!” Fattah duduk dari aksi menantang tadi dan memalingkan
badannya, “Atau, kamu ikut langsung halaqah kami, biar tahu!”
Tak
ada sepatah kata yang keluar dari mulut Hariz setalah itu. Ia hanya diam dan
mengeluarkan gawai, berharap suasana hatinya tenang kembali. Hening mulai
mengisi tiap sudut ruang kontrakan mereka. Suara kendaraan di depan gang kecil
tak bertahan lama untuk memecah kesunyian. Mendadak keduanya merasa canggung,
perkenalan mereka seperti kembali pada titik awal. Malam seakan-akan telah
berada di puncak terakhir, padahal isha baru selesai ditegakkan. Baik Hariz dan
Fattah sebenarnya tidak menginginkan keadaan seperti itu. Mereka hampir tiap
hari berdebat tentang apa pun, termasuk tentang Khilafah. Tetapi untuk malam
ini, perdebatan itu memang sengit. Sangat sengit.
***
Hariz
dan Fattah adalah mahasiswa di kampus negeri ternama. Mereka berteman sejak
masih duduk di bangku SMA. Selama tiga tahun berseragam putih abu-abu, Hariz
dan Fattah selalu satu kelas dan sebangku. Persahabatan keduanya telah membuat
teman-teman di sekitar mereka memberi julukan, ‘bagai pinang dibelah dua’. Di
mana ada Hariz, di situ ada Fattah. Berlaku untuk sebaliknya. Meski Hariz di
Fakultas Teknik dan Fattah di Fakultas Hukum, tidak menyurutkan persahabatan di
antara keduanya. Mereka terpisah saat kuliah di dalam kelas. Setelah itu,
mereka akan bertemu kembali di kantin, seminar, dan yang pasti dalam kontrakan
yang mereka sewa bersama.
Persahabatan
yang mereka jalin bukan berarti meniadakan perdebatan. Fattah yang aktif di
organisasi Gema Pembebasan sejak awal masuk kuliah, sering mengikuti kajian dan
halaqah. Begitupun dengan Hariz yang tak kalah sibuk dengan kegiatan Lembaga
Dakwah Fakultas seperti mentoring dan liqo’.
Keduanya memiliki peran besar pada organisasi dakwah masing-masing. Maka tak
heran, ketika sedang makan bersama di kantin atau kembali ke kontrakan, mereka
kini lebih sering berdiskusi tentang gerakan dakwah dan berujung pada
perdebatan.
“Kamu
sudah dengar berita tentang RUU KPK, Fat?” tanya Hariz suatu hari ketika mereka
makan bersama di kantin Teknik.
“Belum,” tanggap Fattah setelah meneguk
minuman, “Ada apa memang?”
Hariz
mengernyitkan dahi, “Masa kamu belum tahu, itu tentang RUU KPK yang mau direvisi
lagi.” Hariz menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan, “Salah satu yang jadi
kontroversi adalah adanya dewan pengawas di dalam struktur KPK.”
“Oh,
itu. Iya, aku sudah tahu.” tanggap Fattah datar.
“Dewan
pengawas ini diberi wewenang yang cukup strategis lo!” Hariz meletakkan kedua
tangannya di atas meja dan matanya mengawasi keadaan sekitar, “Tindakan OTT
atau operasi tangkap tangan yang selama ini jadi senjata KPK, harus izin dulu
dengan dewan pengawas,” sembari mengangkat tangan setinggi dada, “Apa enggak
makin tumpul tuh, KPK?” tanya Hariz keheranan.
Bukannya
menjawab, Fattah malah balik bertanya, “Terus, bagaimana respons Presiden
kamu?”
“Presiden
Indonesia kali,” jawab Hariz ketus, “Belum ada respons yang signifikan. Aku
berharap, semoga beliau mengeluarkan Perppu KPK.” lanjutnya dengan nada ragu.
Fattah
tersenyum sinis, “Begini kalau kita berada pada sistem demokrasi.” matanya bertumpu
pada satu titik, “Dalam demokrasi, hal-hal yang sudah haram saja masih bisa dimusyawarahkan.
Padahal, manusia tidak memiliki wewenang untuk menetapkan sebuah hukum. Contoh
masalah korupsi ini.” tangan Fattah berayun-ayun seirama dengan perkataan,
“Tidak ada perdebatan lagi. Korupsi itu haram. Maka, dalam penindakannya pun
harus tegas. Bukan malah memperlemah.”
“Tapi,
teman-teman di organisasi anti korupsi sedang menempuh jalur konstitusi kok,
Fat.” sanggah Hariz kemudian, “Belum lagi mahasiswa se-Indonesia, yang akan
aksi besar-besaran meminta Presiden mengeluarkan Perppu.”
Raut
wajah Fattah jadi makin serius, “Perjuangan itu gak akan terlalu berpengaruh
Riz,” sela Fattah tak mau berharap, “Selama kita masih memakai sistem
demokrasi, bukan benar atau salah yang menjadi pertimbangan. Tetapi, banyak
atau sedikit.” sambungnya kembali, “Bahkan, orang gila sekalipun sama
kedudukannya dengan orang normal seperti kita dalam memberikan suara!”
Hariz
mendengus sedetik, “Kalau diskusi dengan kamu, ujung-ujungnya pasti menyalahkan
sistem. Seperti tidak ada yang bisa dimanfaatkan saja dari demokrasi, untuk
keadaan kita saat ini.”
“Memang
itulah inti dari masalah bangsa ini Riz. Salah sistem.” Tatapan Fattah
meyakinkan, “Seharusnya, kita berjuang untuk mewujudkan sistem Khilafah.
Itulah sistem politik Islam. Khilafah tidak sama dengan sistem diktator atau
demokrasi. Salah satu prinsip penting dari Khilafah, yang sekaligus membedakan
dari sistem lainnya adalah kedaulatan,” makin menggebu-gebu suara Fattah, “Yakni
hak untuk menetapkan hukum, yang menentukan benar dan salah, yang menentukan
halal dan haram, ada di tangan syariat, bukan di tangan manusia!”
“Aku
juga tahu itu, Muhammad Fattah Izzulhaq.” Hariz duduk berkacak pinggang, “Aku juga
merindukan kehidupan syariat di zaman Rasulullah, dan para penerus selanjutnya
pada abad-abad kejayaan tersebut.” suaranya tenang namun berusaha tidak
menggurui, “Tetapi, tidak kah kau melihat bahwa, kaum muslimin juga bisa
berjuang di kursi parlemen, untuk menyuarakan hak-hak yang berkaitan dengan syariat?”
“Apa
contohnya?” susul Fattah.
“Undang-undang
perbankan syariah,” dengan yakin Hariz menyebutkan, “Undang-undang tentang
pengelolaan zakat, tentang penyelenggaraan haji dan umrah.” sambungnya kembali,
“Semua itu adalah hasil dari perjuangan muslimin yang ada di parlemen,
pemerintahan, dalam sistem!” tutup Hariz.
Fattah
memalingkan muka sebelum berkata, “Aku tidak melihat itu sebagai upaya menuju
kepemimpinan Islam.”
“Wooyy!” tiba-tiba seonggok manusia telah
bertengger di belakang mereka. Marsum, tetangga kontrakan Fattah yang selalu
ingin disebut kurus. Padahal, jauh panggang dari api. “Klean serius kali,”
potong Marsum dengan nada khas orang medan berjalan mendekati keduanya. Sekejap
kemudian ia telah duduk manis
“Haduh,
kamu ini Marsum, kirain siapa teriak-teriak.” Hariz melepas kesal.
“Hehe, ya lah. bukan Marsum namanya kalau…”
belum sampai selesai berkata, mata Marsum melirik meja, “Aku cicip makananmu ya,
Riz.” Marsum asal comot, “nah, minumnya aku cicip punya kamu ya, Fat.”
“Huh,
Dasar!” teriak Fattah dan Hariz serempak.
Kedatangan
Marsum telah mencairkan suasana serius di antara Hariz dan Fattah. Mereka tidak
tertarik lagi membahas tentang yang berbau ideologi. Pembicaraan telah bergeser
pada senda gurau dan aktivitas perkuliahan. Namun, sukma dua sahabat tersebut
masih terus menerawang. Mengais-ngais sisa debat barusan. Kalau-kalau, ada yang
bisa dicerna menjadi pengetahuan dan antitesis dari segala hipotesis yang
diyakini selama ini. Begitulah hari-hari Fattah dan Hariz setelah menjadi
mahasiswa. Penuh dengan diskusi dan tak jarang berujung pada perdebatan sampai
pada titik keyakinan dan ideologi.
***
Sunyi
telah menyelimuti tiap sudut kota. Daerah yang dijuluki kota santri dan kaum
cendekiawan tersebut telah lelap dibawa detik waktu. Suara jangkrik mulai
terdengar jelas di setiap rumah. Dua pasang bola mata masih berusaha menuju
kantuk yang dari tadi tertahan amigdala.
Pikiran dan imajinasi keduanya telah berkolaborasi, menahan mereka dari
tidur sejak perdebatan sengit. Hanya rak buku mini yang memisahkan tempat tidur
Hariz dan Fattah. Mereka berlomba menuju garis terakhir kebosanan, sebelum
akhirnya benar-benar lepas dari cengkraman pikiran.
Di
halaqah yang diikuti Fattah dan liqo’
yang ditekuni oleh Hariz, kedua model pengajian itu tidak pernah mengajarkan
permusuhan. Justru sebaliknya, murabbi
mereka selalu menekankan untuk selalu menjaga ukhuwah sesama muslim, termasuk
dari gerakan dakwah yang lain. Selama ia masih berpegang teguh pada Ahlul-Sunnah, maka selama itu juga
mereka tidaklah menyimpang.
Dalam
lamunannya yang panjang, Hariz teringat nasehat Ust. Salim A Fillah pada buku
Dalam Dekapan Ukhuwah, “Seperti yang dialami Mush’ab,” tulisan itu menjelma
suara dalam pikiran Hariz, “Persaudaraan iman jauh lebih kuat, mengalahkan
persaudaraan nasab. Dan bahkan persaudaraan nasab seperti tiada, hampa, tak
bernilai, jika tiada akidah yang mengikat hati mereka pada satu keyakinan yang
sama.”
“Sebentar,”
pikir Hariz kemudian, “Antara aku dan Fattah bukan hanya diikat oleh
persahabatan yang lama. Lebih dari itu, kami satu akidah. Kami aktif pada
gerakan dakwah. Bukankah itu suatu hal yang tak ternilai untuk terus dijaga?”
“Astagfirullahaladzim…” getir Hariz pelan.
Tanpa sadar, Fattah pun diam-diam beristigfar.
***
Sayup-sayup
dari kejauhan mulai terdengar suara ayam berkokok. Dini hari melanjutkan
estafet waktu dari tengah malam yang telah selesai dalam tugasnya. Rasa kantuk
pada sebagian besar manusia makin menjadi-jadi. Selimut tebal seolah-olah pagar
pemisah antara alam dunia dengan alam mimpi. Suasana dingin menambah alasan
umat manusia untuk tidur lebih nyenyak. Melupakan peluang salat tahajud pada
1/3 malam. Namun, tidak bagi Hariz dan Fattah yang mulai terbiasa salat malam
sejak awal kuliah. Kebiasaan telah membuat mereka terjaga pada waktu-waktu itu,
walau tanpa alarm.
Hariz
bangun lebih dulu. Ia benar-benar tidak bisa tidur nyenyak karena perdebatan semalam.
“Fat, ayo bangun! Tahajud.” celotehnya malas sembari mengayunkan kaki untuk
mengambil wudu dan kemudian salat tahajud di masjid.
Tidak
lama kemudian, Fattah menyusul di belakang Hariz. Masjid yang mereka tuju tepat
berada di depan kontrakan. Hariz dan Fattah biasa salat tahajud berjemaah di
Masjid itu. Lalu dilanjutkan dengan tilawah dan menunggu hingga waktu subuh.
Tetapi, kali ini suasananya berbeda. Mereka salat sendiri-sendiri. Hariz di
depan dekat mimbar, sedangkan Fattah jauh di belakang area salat muslimah.
Setelah
mempersiapkan segala kebutuhan kuliah hari itu, Fattah siap berangkat ke
kampus. “Kamu mau bareng aku, enggak?” tanya Fattah cukup malas
“Enggak
usah, Fat. Makasih. Aku tadi sudah bilang dengan Marsum, nebeng dia.” jawab
Hariz seadanya.
“Oke.”
Fattah berangkat dengan rasa kaku.
Hari
ini Hariz berencana mengikuti aksi mahasiswa yang digalang oleh teman-temannya
di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ia sengaja berangkat bersama Marsum agar
setelah perkuliahan selesai, bisa langsung menuju ke titik kumpul massa aksi. “Fattah tentu punya agenda lain bersama Gema
Pembebasan,” bisik suara hati Hariz. Marsum aktif di BEM, ia pasti ikut
aksi tersebut. Bahkan sebenarnya, Marsum meminta Hariz untuk membantunya
menggalang massa.
Sekitar
seribu mahasiswa telah berkumpul di depan gedung DPR/MPR. Mereka akan melakukan
long march hingga ke Istana Negara.
Salah satu yang menjadi tuntutan dalam aksi tersebut adalah meminta presiden
agar mengeluarkan Perppu KPK sebagai pengganti undang-undang KPK terbaru yang
telah disahkan oleh wakil rakyat.
“Berapa
suara kita?” teriak orator melalui pelantang suara.
“Satu!”
jawab ribuan mahasiswa
Aksi
sudah berlangsung lebih dari satu jam di depan gedung DPR/MPR. Hariz berada di
antara ribuan mahasiswa tersebut. Ia berada bersama rombongan petinggi BEM.
Meskipun aktif di Lembaga Dakwah Fakultas, Hariz cukup dekat dengan beberapa
pimpinan BEM Fakultas. Sehingga tidak heran, jika ada aksi seperti ini, Ia
selalu mendukung dan ikut terlibat.
“Riz,
Hariz!” teriak Marsum keluar dari kerumunan dan mendekati Hariz
“Kenapa,
Sum?” tanya Hariz penasaran, “Kamu seperti dari lihat hantu saja.”
“Iya,”
buru Marsum segera, “aku dari lihat hantu siang bolong!” nadanya keras sedikit
bercanda.
“Siapa
hantunya?” tanya Hariz penasaran
“Muhammad
Fattah Izzulhaq,” bibir Marsum semringah berucap, “Sahabat kamu yang anti
demokrasi itu, ikut aksi kita Riz.”
Hariz
tidak mudah percaya, “Ah, bukan ketemu hantu. Itu namanya mimpi di siang bolong
kamu, Sum.”
“Kata
siapa mimpi?” tiba-tiba suara yang dikenal akrab oleh telinga keduanya menyusup
di tengah percakapan.
“Fattah?”
nada Hariz sedikit ragu
Sejurus
kemudian, sosok yang dimaksud muncul dari belakang Marsum. “Iya, Riz. Ini aku,
Fattah.”
“Kok,
kamu disini?” Hariz masih merasa ada hal yang janggal
“Perkataan
kamu tempo hari, ada benarnya.” Fattah mengangguk yakin, “Aksi seperti ini
mungkin, tidak akan terlalu berpengaruh. Tetapi ini, bukan tindakan yang salah.
Inilah perjuangan yang bisa kita lakukan untuk saat ini.”
Belum
sempat Hariz mengungkap bahagia. Fattah melengkapi kalimatnya, “Oh ya, maaf atas
perdebatan semalam. Aku enggak bisa mengendalikan amarah.”
“Sama-sama,
Fat. Aku juga minta maaf, atas pertanyaanku yang telah menyinggung suatu hal
yang kamu yakini.”
“Kok,
kayak lebaran aja klean,” potong Marsum heran, “Pakai acara maaf-maafan segala.”
Hariz
dan Fattah saling lirik dan berkata, “Emang masalah buat klean!”. Mereka kompak
meledek Marsum, disusul cekikikan tawa.
“Ayo
kita gabung kedepan, Fat!” ajak Hariz.
“Yuk!”
sambung Fattah.
Mereka
berjalan meninggalkan Marsum yang sedang menggarut-garut kepala padahal tidak
gatal.
“Bagaimana
aksi ini, sejauh yang kamu lihat?”
“Rapi
dan kompak. Hanya aku tidak terbiasa dengan slogan hidup mahasiswa!” ujar
Fattah lengkap dengan praktek tangan menggepal, “Aku biasanya, takbir, Allahuakbar!” susulnya.
“Ya,
aku juga biasanya begitu kali.” sela Hariz saat berjalan bersama Fattah ke depan
rombongan aksi.
“Sama
satu lagi Hariz Munarman,” sambung Fattah belum selesai, “Bercampur baur antara
massa lelaki dan perempuan seperti ini, sungguh dalam gerakan kami adalah hal
yang tidak biasa.”
Hariz
mengangguk beberapa kali, “InsyaAllah, Fat. Setahap demi setahap hal seperti
ini akan kita minimalisir.” simpulnya sebelum melangkah lebih dulu.
Fattah
yang selangkah tertinggal dari Hariz berusaha menyusul, “Eh Riz,” suara Fattah
terdengar merayu, “Kami akan mengadakan seminar ‘Khilafah Will Reborn’, bantu
sebar dan galang massa, ya!”
Hariz
terdiam sejenak. Mematung untuk beberapa saat. Benaknya mengumpat
habis-habisan. ternyata ada udang di balik batu. Aksi Fattah hari ini bagai
sebuah tawaran kerjasama. Upeti tanda kesepakatan sudah dilayangkan. Tinggal
menunggu balasan dari sang penerima. Alhasil, perdebatan tidak terelakkan. Saat
mahasiswa lain sibuk menyatukan suara dalam aksi gegap gempita, mereka malah
asyik berdebat di tengah kerumunan. Sepertinya, begitulah definisi sahabat
sejati bagi mereka. Diskusi, bertukar pikiran, dan kawan debat.

1 komentar:
Mhantapp
REPLYBerikan komentar terbaikmu :)