Cabai Merah dan Cabai Hijau (Terinspirasi dari Kisah Nyata)
Hari ini aku pulang. Hendak mengurai rindu yang mengendap
selama satu bulan lamanya. Rindu terhadap keasrian kota, orang-orang lama di
sana, suasana rumah, dan tentu kedua orangtua tercinta. Semenjak bekerja di
luar kota, aku memang merencanakan pulang kampung minimal satu bulan
sekali. Selain karena ingin menengok kedua orangtua, hal lainnya adalah
keberadaanku di kampung halaman harus tetap eksis,
aku tidak ingin dianggap orang asing di kota kelahiran sendiri. Apalagi dengan
keadaan saat ini, tentu bila ada hal-hal terjadi, saudara dan tetangga
sekitarlah yang paling dekat keberadaannya. Maka, menjaga hubungan baik, dengan
paling tidak bertegur sapa adalah hal ringan untuk tetap dilakukan.
Aku pulang dengan transportasi kereta. Belakangan ini, ada
satu trayek yang ongkosnya menurun. Entahlah, mungkin untuk menarik penumpang.
Semoga saja berlangsung lama. Aku bisa pulang setiap pekan kalau ongkosnya
murah seperti saat ini. Kereta memang transportasi idaman banyak kalangan. Mau
katanya menengah ke bawah atau menengah ke atas, buktinya setiap gerbong selalu
ramai. Bagiku sendiri, selain nyaman, hemat dan tepat waktu, tentu jarak
stasiun ke rumahku yang tak terlalu jauh adalah alasan yang tak kalah penting.
Hanya sekitar setengah kilometer, aku bisa berjalan kalau ingin olahraga
sedikit.
"Assalamualaikum,"
ucapku setiba di depan pintu rumah. Kemudian disusul suara derek pintu
membuka.
"Eh, si Hariz. Waalaikumsalam,"
sahut ibuku sembari tersenyum manis melihat anak laki-laki semata wayangnya pulang.
Aku tak kalah bahagia melihat senyum itu, aku cium tangan kanan beliau kemudian
aku peluk tubuhnya yang cukup gemuk. Ah, rasanya tak ada yang berubah dari raga
ibuku ini, masih tetap hangat dan nyaman dalam pelukan. Walau hingga usianya
kini yang sudah menginjak setengah abad, masih juga bekerja keras.
Aku biasa memanggil ibuku dengan panggilan Umak. Secara garis keturunan kami memang
asli Komering. Ibu dan Bapak adalah Suku Komering. Termasuk kedua Nenek dan
Kakek, semuanya Suku Komering. Umak
adalah panggilan untuk Ibu dan Ubak adalah
panggilan untuk Bapak dalam bahasa Komering. Sebagai informasi, Suku Komering
adalah suku terbesar di Kabupaten tempat kami tinggal. Aku lahir dan
besar di lingkungan komering yang cukup keras. Umak dan Ubak terbiasa
mendidik anak-anaknya dengan keras dan penuh kewaspadaan.
Sinar mentari kian redup. Menyembunyikan sumber cahayanya
pada sebagian lapisan bumi. Aku dan Umak
memanfaatkan waktu bersama di waktu senja kala itu. Tepatnya di belakang dan
samping rumah kami, yang cukup untuk ditanami sayur-sayuran sekadar untuk
kebutuhan sehari-hari.
Setelah aku merapikan pot dan tanah untuk media menanam
bibit jahe, aku menghampiri Umak yang
terlihat antusias memetik cabai dari pohon. "Lah, Mak, kok yang dipetik cabai merah terus? yang hijau juga dong, kan
sama saja." kataku terheran-heran.
Umak tersenyum melihat keherananku,
"Aduh, anakku, yang sudah matang itu, ya warna merah. Kalau warna hijau
itu belum."
Aku makin penasaran, "apa iya Mak? Bukannya hijau atau merah itu cuma warnanya saja, dan yang
kita petik itu yang besar."
"Hmm…Hariz
Hariz, umakmu ini sudah dari dulu
bekerja keras dan berkebun seperti ini." sahut Umak sambil tetap memetik cabai merah, "Yang hijau itu juga
nanti akan jadi merah, nih lanjutkan!" geram Umak sambil memberikan penampung cabe agar aku melanjutkan.
Umak memang terlahir di lingkungan desa
dan keluarga yang kurang mampu. Sembari memetik cabai aku jadi teringat, beliau
pernah bercerita bahwa semasa remajanya dihabiskan untuk membantu kedua
orangtua berkebun dan berdagang. Semua serba sulit waktu itu, dilalui dengan
suka dan duka. Namun, Umak selalu
bersyukur atas semua karuniaNya. Ketika Umak
menikah dengan Ubak, kehidupan tidak
serta merta berubah, karena Ubak juga
bukan orang mampu. Umak menceritakan
bahwa kehidupan baru bersama Ubak
tatkala itu benar-benar dimulai dari nol. Mulai dari merantau kota, berdagang
manis-manisan, jualan sayur di kota sebelah, menampung ikan untuk dijual,
sampai menampung pasir dari Sungai Komering, dilakoni oleh Umak dan Ubak. Hingga
sekarang, mereka bisa memiliki rumah sendiri dan menyekolahkan anaknya sampai
bangku kuliah, walau mereka sendiri tidak tamat SD, karena keadaan pada zaman
itu yang kurang mendukung dan jauh dari perkotaan.
"As," panggil akrab Ubak kepadaku, "Ubak
dulu ingin sekali sekolah lanjutan. Cuma, kakekmu waktu itu tidak mampu."
kenang Ubak padaku saat aku
memijatnya, "Jadi, saking inginnya Ubak
sekolah, terpaksa Ubak ikut kelas 6
SD saja terus, mungkin 3 sampai 5 tahun waktu itu."
“Oh ya, apa tidak ada SLTP di dekat dusun kita waktu itu,
Bak?” selidikku penasaran, sebab
saat ini sudah banyak sekolah di sekitar dusun.
“Tidak ada. Hanya sekolah dasar. Itu pun dengan guru hanya 2
orang.” jawab Ubak, “Makanya, kamu
harus bersyukur dan sekolah yang tinggi.”
“Siap, Bak.
Laksanakan! Hehe.”
Mereka juga yang mengajarkan aku disiplin dan tidak nakal
seperti kebanyakan anak di lingkungan tempatku tinggal. Aku suka tersenyum
sendiri ketika mengingat, bahwa aku pernah dijemput paksa oleh Umak saat sedang asyik bermain di tempat
sewa PS atau berenang di Sungai Komering.
Begini ceritanya. Waktu itu aku berumur 10 atau 11 tahun.
Hampir setiap Umak pulang dari
berjualan dan tidak mendapatiku di rumah, beliau akan mencariku sampai ketemu.
Tempat-tempat favoritku seperti, tempat rental PS, rental biliar, tepian Sungai
Komering, lapangan sepakbola, atau beberapa tempat kumpul anak zaman itu, semua
Umak hafal. Alhasil, aku pasti akan
ditemukan selincah apapun aku bersembunyi. Apa boleh buat, aku harus pulang
diiringi Umak dari belakang. Sebab,
bila aku membantah atau mengesalkan, Umak
akan memukul pantatku, walau didepan banyak orang.
“Pugh!” begitu merdunya untuk sekali pukulan. “Pugh!
Pugh!” untuk dua kali pukulan, dan seterusnya.
Dulu, aku merasa kesal dan malu sekali. Tetapi sekarang, aku
tahu maksud dan tujuan beliau, tentu sangat mulia. Demi anaknya yang tidak
terjebak arus kenakalan remaja dan dapat disiplin. Aku tidak dapat membayangkan
jika Umak hanya diam dan tidak peduli
dengan aktivitas anaknya. Bisa saja, aku menjadi anak pemalas dan tidak
mengenal pendidikan karena terpengaruh lingkungan buruk.
Bagiku, Umak dan Ubak adalah sumber inspirasi yang
benar-benar hidup. Mereka membuktikan kepada anaknya bahwa, jika kita disiplin
dan ingin berusaha pasti Allah akan tunjukkan yang terbaik. Bahkan, untuk
kondisi sesulit apapun itu. “Semoga Umak
dan Ubak sehat selalu,” doaku dalam
hati sebelum menutup lamunan yang panjang saat memetik cabai.
***
“Eh, Hariz, sudah belum metik cabainya?” sergap Umak yang sudah berada di sampingku
kembali.
“Ya, in…” belum sempat aku menyelesaikan jawaban, Umak sudah memotong dengan tergesa,
“Haduh! Ini kok yang dipetik cabai ijo!” geram Umak padaku yang kubalas dengan senyum dan ciuman dikeningnya, “Hehe,
maaf ya Mak.”

2 komentar
Jangan-jangan, tokoh Hariz adalah kak Putra sendiri hahhaa
REPLYhaha, biarlah pembaca menerka-nerka. wkwkk
REPLYBerikan komentar terbaikmu :)