Friday, 8 May 2020

Hari ini aku pulang. Hendak mengurai rindu yang mengendap selama satu bulan lamanya. Rindu terhadap keasrian kota, orang-orang lama di sana, suasana rumah, dan tentu kedua orangtua tercinta. Semenjak bekerja di luar kota, aku memang merencanakan pulang kampung minimal satu bulan sekali. Selain karena ingin menengok kedua orangtua, hal lainnya adalah keberadaanku di kampung halaman harus tetap eksis, aku tidak ingin dianggap orang asing di kota kelahiran sendiri. Apalagi dengan keadaan saat ini, tentu bila ada hal-hal terjadi, saudara dan tetangga sekitarlah yang paling dekat keberadaannya. Maka, menjaga hubungan baik, dengan paling tidak bertegur sapa adalah hal ringan untuk tetap dilakukan. 

Aku pulang dengan transportasi kereta. Belakangan ini, ada satu trayek yang ongkosnya menurun. Entahlah, mungkin untuk menarik penumpang. Semoga saja berlangsung lama. Aku bisa pulang setiap pekan kalau ongkosnya murah seperti saat ini. Kereta memang transportasi idaman banyak kalangan. Mau katanya menengah ke bawah atau menengah ke atas, buktinya setiap gerbong selalu ramai. Bagiku sendiri, selain nyaman, hemat dan tepat waktu, tentu jarak stasiun ke rumahku yang tak terlalu jauh adalah alasan yang tak kalah penting. Hanya sekitar setengah kilometer, aku bisa berjalan kalau ingin olahraga sedikit. 

"Assalamualaikum," ucapku setiba di depan pintu rumah. Kemudian disusul suara derek pintu membuka. 

"Eh, si Hariz. Waalaikumsalam," sahut ibuku sembari tersenyum manis melihat anak laki-laki semata wayangnya pulang. Aku tak kalah bahagia melihat senyum itu, aku cium tangan kanan beliau kemudian aku peluk tubuhnya yang cukup gemuk. Ah, rasanya tak ada yang berubah dari raga ibuku ini, masih tetap hangat dan nyaman dalam pelukan. Walau hingga usianya kini yang sudah menginjak setengah abad, masih juga bekerja keras. 

Aku biasa memanggil ibuku dengan panggilan Umak. Secara garis keturunan kami memang asli Komering. Ibu dan Bapak adalah Suku Komering. Termasuk kedua Nenek dan Kakek, semuanya Suku Komering. Umak adalah panggilan untuk Ibu dan Ubak adalah panggilan untuk Bapak dalam bahasa Komering. Sebagai informasi, Suku Komering adalah suku terbesar di Kabupaten tempat kami tinggal. Aku lahir dan besar di lingkungan komering yang cukup keras. Umak dan Ubak terbiasa mendidik anak-anaknya dengan keras dan penuh kewaspadaan. 

Sinar mentari kian redup. Menyembunyikan sumber cahayanya pada sebagian lapisan bumi. Aku dan Umak memanfaatkan waktu bersama di waktu senja kala itu. Tepatnya di belakang dan samping rumah kami, yang cukup untuk ditanami sayur-sayuran sekadar untuk kebutuhan sehari-hari. 

Setelah aku merapikan pot dan tanah untuk media menanam bibit jahe, aku menghampiri Umak yang terlihat antusias memetik cabai dari pohon. "Lah, Mak, kok yang dipetik cabai merah terus? yang hijau juga dong, kan sama saja." kataku terheran-heran. 

Umak tersenyum melihat keherananku, "Aduh, anakku, yang sudah matang itu, ya warna merah. Kalau warna hijau itu belum." 

Aku makin penasaran, "apa iya Mak? Bukannya hijau atau merah itu cuma warnanya saja, dan yang kita petik itu yang besar." 

"Hmm…Hariz Hariz, umakmu ini sudah dari dulu bekerja keras dan berkebun seperti ini." sahut Umak sambil tetap memetik cabai merah, "Yang hijau itu juga nanti akan jadi merah, nih lanjutkan!" geram Umak sambil memberikan penampung cabe agar aku melanjutkan. 

Umak memang terlahir di lingkungan desa dan keluarga yang kurang mampu. Sembari memetik cabai aku jadi teringat, beliau pernah bercerita bahwa semasa remajanya dihabiskan untuk membantu kedua orangtua berkebun dan berdagang. Semua serba sulit waktu itu, dilalui dengan suka dan duka. Namun, Umak selalu bersyukur atas semua karuniaNya. Ketika Umak menikah dengan Ubak, kehidupan tidak serta merta berubah, karena Ubak juga bukan orang mampu. Umak menceritakan bahwa kehidupan baru bersama Ubak tatkala itu benar-benar dimulai dari nol. Mulai dari merantau kota, berdagang manis-manisan, jualan sayur di kota sebelah, menampung ikan untuk dijual, sampai menampung pasir dari Sungai Komering, dilakoni oleh Umak dan Ubak. Hingga sekarang, mereka bisa memiliki rumah sendiri dan menyekolahkan anaknya sampai bangku kuliah, walau mereka sendiri tidak tamat SD, karena keadaan pada zaman itu yang kurang mendukung dan jauh dari perkotaan. 

"As," panggil akrab Ubak kepadaku, "Ubak dulu ingin sekali sekolah lanjutan. Cuma, kakekmu waktu itu tidak mampu." kenang Ubak padaku saat aku memijatnya, "Jadi, saking inginnya Ubak sekolah, terpaksa Ubak ikut kelas 6 SD saja terus, mungkin 3 sampai 5 tahun waktu itu."

“Oh ya, apa tidak ada SLTP di dekat dusun kita waktu itu, Bak?” selidikku penasaran, sebab saat ini sudah banyak sekolah di sekitar dusun.

“Tidak ada. Hanya sekolah dasar. Itu pun dengan guru hanya 2 orang.” jawab Ubak, “Makanya, kamu harus bersyukur dan sekolah yang tinggi.”

“Siap, Bak. Laksanakan! Hehe.”

Mereka juga yang mengajarkan aku disiplin dan tidak nakal seperti kebanyakan anak di lingkungan tempatku tinggal. Aku suka tersenyum sendiri ketika mengingat, bahwa aku pernah dijemput paksa oleh Umak saat sedang asyik bermain di tempat sewa PS atau berenang di Sungai Komering. 

Begini ceritanya. Waktu itu aku berumur 10 atau 11 tahun. Hampir setiap Umak pulang dari berjualan dan tidak mendapatiku di rumah, beliau akan mencariku sampai ketemu. Tempat-tempat favoritku seperti, tempat rental PS, rental biliar, tepian Sungai Komering, lapangan sepakbola, atau beberapa tempat kumpul anak zaman itu, semua Umak hafal. Alhasil, aku pasti akan ditemukan selincah apapun aku bersembunyi. Apa boleh buat, aku harus pulang diiringi Umak dari belakang. Sebab, bila aku membantah atau mengesalkan, Umak akan memukul pantatku, walau didepan banyak orang. 

Pugh!” begitu merdunya untuk sekali pukulan. “Pugh! Pugh!” untuk dua kali pukulan, dan seterusnya.

Dulu, aku merasa kesal dan malu sekali. Tetapi sekarang, aku tahu maksud dan tujuan beliau, tentu sangat mulia. Demi anaknya yang tidak terjebak arus kenakalan remaja dan dapat disiplin. Aku tidak dapat membayangkan jika Umak hanya diam dan tidak peduli dengan aktivitas anaknya. Bisa saja, aku menjadi anak pemalas dan tidak mengenal pendidikan karena terpengaruh lingkungan buruk. 

Bagiku, Umak dan Ubak adalah sumber inspirasi yang benar-benar hidup. Mereka membuktikan kepada anaknya bahwa, jika kita disiplin dan ingin berusaha pasti Allah akan tunjukkan yang terbaik. Bahkan, untuk kondisi sesulit apapun itu. “Semoga Umak dan Ubak sehat selalu,” doaku dalam hati sebelum menutup lamunan yang panjang saat memetik cabai.
***
“Eh, Hariz, sudah belum metik cabainya?” sergap Umak yang sudah berada di sampingku kembali.
“Ya, in…” belum sempat aku menyelesaikan jawaban, Umak sudah memotong dengan tergesa, “Haduh! Ini kok yang dipetik cabai ijo!” geram Umak padaku yang kubalas dengan senyum dan ciuman dikeningnya, “Hehe, maaf ya Mak.”


2 komentar

Jangan-jangan, tokoh Hariz adalah kak Putra sendiri hahhaa

REPLY

haha, biarlah pembaca menerka-nerka. wkwkk

REPLY

Berikan komentar terbaikmu :)

Peradaban Muda . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates