Corona, The Rain, dan The Walking Dead
Tanpa mengurangi rasa prihatin saya terhadap kondisi bangsa Indonesia saat ini, atas tren isu Covid-19 yang makin menjadi-jadi dari hari ke hari, mari kita berfantasi sejenak. Saya hanya tidak ingin hal ini terlintas saja dalam kepala saya tanpa meninggalkan jejak pada dunia maya
Semenjak kemunculannya (Baca:
Corona) pada akhir tahun 2019 di wuhan, Covid-19 tidak hanya melahirkan banyak
korban di seluruh dunia, tetapi juga sub bab diskusi yang beragam. Mulai dari
penularan dari hewan kelelawar, senjata biologis yang bocor, pro kontra lockdown, social distancing, sampai konspirasi dalam pandemi. Kesemuanya menjadi
bahan aktif di media sosial, entah meramaikan atau memperkeruh. Tak luput dari
obrolan, termasuklah juga mengait-ngaitkan Covid-19 dengan film Contagion yang
rilis 9 tahun silam. Setidaknya ada 3 hal kesamaan yang membuat netizen cukup
beralasan. Pertama, virus dalam film tersebut memiliki tingkat penularan yang
cepat dari manusia ke manusia; sama dengan Corona. Kedua, mewabah ke seluruh
dunia. Ketiga, memberikan kekhawatiran bahkan sebagian masyarakat menjadi panik.
Kabar buruknya, saya belum
menonton film Contagion tersebut, sehingga belum dapat menganalisa lebih jauh
kecuali ketiga hal di atas yang bersumber dari wikipedia dan percakapan sengit netizen.
Kabar baiknya, saya punya dua film serial yang sudah saya tonton dan hampir mirip dengan kondisi saat ini. Saya sampaikan sekilas saja tentang kedua
film tersebut, karena poin saya bukan pada alur cerita, tetapi pada perilaku manusia
di dalam film yang tak beda jauh dengan manusia saat ini.
The Walking Dead (2010-sekarang)
di rancang oleh Frank Darabont dari Amerika. Kisah bermula dari sebuah kiamat zombi
di seluruh dunia. Zombi-zombi yang biasa disebut walker tersebut, berjalan
menuju manusia dan makhluk hidup lainnya untuk memakannya. Manusia yang mereka
gigit atau cakar menjadi terinfeksi dan perlahan berubah menjadi walker juga. Di
awal kisah, terungkap bahwa semua manusia hidup membawa patogen ini, sehingga
jika mereka meninggal karena sebab lain, mereka juga akan berubah menjadi walker.
Satu-satunya cara menuntaskan gelombang walker ini adalah dengan membunuh
mereka secara permanen dengan merusak otaknya atau menghancurkan seluruh
tubuhnya, seperti dengan mengkremasinya. Tetapi cerita tentu tidak berhenti di situ.
Eskalasi semakin meningkat. Manusia mulai mementingkan kelompoknya sendiri
bahkan sejujurnya diri sendiri.
The Rain (2018) dari Denmark
dirancang oleh Jannik Tai Mosholt dan kawan-kawan, mengisahkan kehancuran dunia
akibat penyebaran virus melalui hujan yang merenggut jutaan nyawa manusia. Satu
tetes hujan mengenai kulit anda, maka kehidupan anda selesai saat itu juga;
sekedar hitungan detik. Setelah 6 tahun virus tersebut masih melanda. Manusia
telah bertransformasi menjadi kekuatan kelompok per kelompok. Hukum rimba jelas
sangat berlaku. Siapa kuat dan memiliki banyak amunisi, dia yang dapat
bertahan.
Baik The Rain maupun The
Walking Dead tentu tidak se-monoton seperti sekilas cerita saya barusan. Kedua
film tersebut juga memberikan nilai-nilai kemanusiaan dan kepemimpinan.
Setidaknya kedua hal tersebut paling menonjol dalam pengamatan saya. Lantas
bagaimana Covid-19 dapat sedikit terhubung dengan kedua film serial tersebut?
Menyoroti
kehidupan sosial masyarakat setelah terjadi wabah
The Rain dan The Walking
Dead tidak mau berlama-lama dengan kehidupan sebelum wabah melanda. Alur film
ini walau maju mundur, tidak banyak mengisahkan masa lalu. Sama halnya dengan
fenomena Corona saat ini. Tidak banyak yang ingat dan mungkin malas untuk mengingat.
Bahkan ada pasien Covid-19 yang pura-pura lupa kalau ia telah mendatangi zona
merah rawan Corona. Kekhawatiran yang berlebih tentang stigma pasien Covid-19
telah membuat kita hanya ingin fokus pada penanganan tanpa mengindahkan protokol
yang telah ditetapkan. Hampir sama dengan pejabat yang berwenang. Mengingat-ingat
perkataan “jumawa”, sebelum Covid-19 makin banyak menelan korban, adalah
evaluasi yang menguras keringat dingin bagi pejabat dunia, semisal Italia dan
Indonesia.
Peran
Pemerintah Sedikit Bahkan Tidak di Sorot
Kedua film serial wabah pandemi
ini tidak terlalu menyoroti peran pemerintah. Maksud saya setiap episode dalam
film ini tidak mengisahkan keheroikan pemerintah secara khusus. Justru
kisah-kisah masyarakat di dalamnya lebih menarik buat didorong ke permukaan, baik
bagi produser film maupun buat dinikmati penonton seperti saya. Bagi saya
sebenarnya bukan tidak ingin menikmati bagaimana ‘banting tulangnya’ pemerintah
menanggulangi wabah Covid-19. Hanya saja, cerita-cerita di masyarakat lebih meriah,
walau kadang tak banyak yang benar. Pergulatan di media sosial, tulisan-tulisan
pengamat, dan analisa ekonom jauh lebih menggiurkan untuk di telaah lebih dalam
ketimbang menunggu setiap jam 4 sore pengumuman dari pemerintah tentang
penambahan kasus positif, sembuh, dan meninggal karena Covid-19.
Awal
Kisah: Gelombang Saling Tolong Menolong
Pada awal kemunculan kasus
dan mulai merebaknya wabah tersebut kemana-mana, manusia seolah memiliki musuh
bersama. Musuh tersebut adalah virus atau wabah penyakit yang dapat mengurangi
jumlah populasi manusia, bahkan memusnahkan. Kemudian manusia mulai berkumpul
untuk melawan musuh tersebut. Meliputi, pencegahan, penanganan, dan
rehabilitasi. Semua bersatu untuk satu tujuan. Rasa simpati dan empati memenuhi
permukaan bumi. Ada yang berperan sebagai algojo, ada yang tiba-tiba menjadi
panglima perang, dan tidak sedikit mau ambil bagian sebagai penasihat di
samping raja dan ratu. Pada masa-masa ini, manusia di dalam kedua film tersebut
seakan melihat harapan kebangkitan umat manusia.
Saya rasa Covid-19 sedang
asyik berada pada gelombang ini. Tak terhitung organisasi relawan, profesi,
perusahaan, bahkan individu per individu yang menyalurkan bantuan secara
sukarela. Gelombang simpati dan empati betul-betul menghantam Covid-19. Walau
saya tak tahu bagaimana hal itu bekerja, dalam imajinasi saya Covid-19 bagai
penguasa yang sedang digulung-gulung gelombang rakyat.
Ditengah
Kisah: Arus Putus Asa
Kisah The Wlaking Dead dan
The Rain adalah kisah yang panjang. Terutama The Walking Dead. Sejak dirilis
akhir tahun 2010 silam, film tersebut masih terus berproduksi, hingga sekarang
sudah sampai ke season 10. Tentu kisahnya pun berlanjut semakin seru dari sisi
perfilman. Wabah the walkers makin menjadi-jadi. Hampir separuh dunia telah dihuni
oleh para walkers (mayat hidup). Manusia tiba di titik tanpa pilihan. Arus
kelompok per kelompok mulai tercipta dengan sendirinya. Masing-masing kelompok
mempertahankan kelompoknya untuk tetap hidup. Segala upaya dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing, termasuk perang antar kelompok. Saling
membunuh sesama manusia tidak dapat dihindarkan. Pada episode-episode ini,
walkers bukanlah sebuah ancaman. Justru pertemuan dengan manusia lebih
mengerikan. Manusia melihat manusia bagai spesies lain yang tak kalah
mengerikan ketimbang bertemu harimau di dalam hutan.
Imajinasi saya belum pernah
membayangkan bagaimana Covid-19 dapat menghantarkan manusia pada arus
keputusasaan. Yang saya lihat saat ini masing-masing negara sangat serius menangani
wabah pandemi. Tetapi bukankah memang seperti itu tahapannya? Kita hanya butuh
waktu yang lebih lama untuk menyerupai kisah The Rain dan The Walking Dead
dalam kehidupan nyata. Lihatlah keramaian supermarket serta kelangkaan masker
dan hand sanitizer, bukankah itu tanda-tanda kelak, bahwa kita, bukan tidak
mungkin saling abai.
Diakhir
Kisah: Kehilangan Puncak Harapan
“Kepercayaan adalah harta
yang paling mahal di dunia. Kepercayaan itu dapat dimiliki individu kelompok,
maupun institusi.” Tulis Dr. Syahganda dalam tulisannya yang berjudul Habib
Rizieq Trust Fund. Pada akhir-akhir episode dari The Rain dan The Walking Dead,
persatuan antar kelompok nyaris tidak ada. Konflik bukan lagi antara satu
kelompok dengan kelompok lain. Sebenarnya yang terjadi adalah kecurigaan antar
individu masing-masing di dalam kelompok itu sendiri. Tidak ada lagi rasa
saling percaya antar manusia karena ketamakan masing-masing. Yang ada adalah
kecurigaan dan konflik. Pada tahap ini, keadaan semakin kacau. Tidak ada yang
dapat dipercaya kecuali diri sendiri, itu pun jika hati dan pikiran anda mau
berkompromi. Ada berita baik yang ingin saya sampaikan pada paragraf ini.
Ketahuilah, terkadang tidak semua film melalui riset yang mendalam. Mungkin,
The Rain dan The Walking Dead tidak benar-benar 100% melakukan riset sebelum
menulis skenario film.
Penutup
“Kepercayaan adalah sumber
interaksi sosial yang kuat.” lanjut Dr. Syahganda masih pada tulisan yang sama,
“Dalam sebuah masyarakat, semakin banyak individu-individu yang dipercaya, akan
semakin meningkatkan soliditas masyarakat tersebut.” Puncak harapan itu adalah
kepercayaan. Dalam kasus Covid-19, jika kelak keberadaannya makin berbahaya,
jika nanti eksistensinya makin tidak terkendali, kita sama-sama berharap dan
berdoa, semoga kepercayaan antar manusia justru makin meningkat. Siapa yang
tahu?
1 komentar:
Wihh ,canggih👍🏻
REPLYBerikan komentar terbaikmu :)