Saturday, 28 March 2020


Tanpa mengurangi rasa prihatin saya terhadap kondisi bangsa Indonesia saat ini, atas tren isu Covid-19 yang makin menjadi-jadi dari hari ke hari, mari kita berfantasi sejenak. Saya hanya tidak ingin hal ini terlintas saja dalam kepala saya tanpa meninggalkan jejak pada dunia maya

Semenjak kemunculannya (Baca: Corona) pada akhir tahun 2019 di wuhan, Covid-19 tidak hanya melahirkan banyak korban di seluruh dunia, tetapi juga sub bab diskusi yang beragam. Mulai dari penularan dari hewan kelelawar, senjata biologis yang bocor, pro kontra lockdown, social distancing, sampai konspirasi dalam pandemi. Kesemuanya menjadi bahan aktif di media sosial, entah meramaikan atau memperkeruh. Tak luput dari obrolan, termasuklah juga mengait-ngaitkan Covid-19 dengan film Contagion yang rilis 9 tahun silam. Setidaknya ada 3 hal kesamaan yang membuat netizen cukup beralasan. Pertama, virus dalam film tersebut memiliki tingkat penularan yang cepat dari manusia ke manusia; sama dengan Corona. Kedua, mewabah ke seluruh dunia. Ketiga, memberikan kekhawatiran bahkan sebagian masyarakat menjadi panik. 

Kabar buruknya, saya belum menonton film Contagion tersebut, sehingga belum dapat menganalisa lebih jauh kecuali ketiga hal di atas yang bersumber dari wikipedia dan percakapan sengit netizen. Kabar baiknya, saya punya dua film serial yang sudah saya tonton dan hampir mirip dengan kondisi saat ini. Saya sampaikan sekilas saja tentang kedua film tersebut, karena poin saya bukan pada alur cerita, tetapi pada perilaku manusia di dalam film yang tak beda jauh dengan manusia saat ini.  

The Walking Dead (2010-sekarang) di rancang oleh Frank Darabont dari Amerika. Kisah bermula dari sebuah kiamat zombi di seluruh dunia. Zombi-zombi yang biasa disebut walker tersebut, berjalan menuju manusia dan makhluk hidup lainnya untuk memakannya. Manusia yang mereka gigit atau cakar menjadi terinfeksi dan perlahan berubah menjadi walker juga. Di awal kisah, terungkap bahwa semua manusia hidup membawa patogen ini, sehingga jika mereka meninggal karena sebab lain, mereka juga akan berubah menjadi walker. Satu-satunya cara menuntaskan gelombang walker ini adalah dengan membunuh mereka secara permanen dengan merusak otaknya atau menghancurkan seluruh tubuhnya, seperti dengan mengkremasinya. Tetapi cerita tentu tidak berhenti di situ. Eskalasi semakin meningkat. Manusia mulai mementingkan kelompoknya sendiri bahkan sejujurnya diri sendiri.

The Rain (2018) dari Denmark dirancang oleh Jannik Tai Mosholt dan kawan-kawan, mengisahkan kehancuran dunia akibat penyebaran virus melalui hujan yang merenggut jutaan nyawa manusia. Satu tetes hujan mengenai kulit anda, maka kehidupan anda selesai saat itu juga; sekedar hitungan detik. Setelah 6 tahun virus tersebut masih melanda. Manusia telah bertransformasi menjadi kekuatan kelompok per kelompok. Hukum rimba jelas sangat berlaku. Siapa kuat dan memiliki banyak amunisi, dia yang dapat bertahan. 

Baik The Rain maupun The Walking Dead tentu tidak se-monoton seperti sekilas cerita saya barusan. Kedua film tersebut juga memberikan nilai-nilai kemanusiaan dan kepemimpinan. Setidaknya kedua hal tersebut paling menonjol dalam pengamatan saya. Lantas bagaimana Covid-19 dapat sedikit terhubung dengan kedua film serial tersebut? 

Menyoroti kehidupan sosial masyarakat setelah terjadi wabah

The Rain dan The Walking Dead tidak mau berlama-lama dengan kehidupan sebelum wabah melanda. Alur film ini walau maju mundur, tidak banyak mengisahkan masa lalu. Sama halnya dengan fenomena Corona saat ini. Tidak banyak yang ingat dan mungkin malas untuk mengingat. Bahkan ada pasien Covid-19 yang pura-pura lupa kalau ia telah mendatangi zona merah rawan Corona. Kekhawatiran yang berlebih tentang stigma pasien Covid-19 telah membuat kita hanya ingin fokus pada penanganan tanpa mengindahkan protokol yang telah ditetapkan. Hampir sama dengan pejabat yang berwenang. Mengingat-ingat perkataan “jumawa”, sebelum Covid-19 makin banyak menelan korban, adalah evaluasi yang menguras keringat dingin bagi pejabat dunia, semisal Italia dan Indonesia.

Peran Pemerintah Sedikit Bahkan Tidak di Sorot

Kedua film serial wabah pandemi ini tidak terlalu menyoroti peran pemerintah. Maksud saya setiap episode dalam film ini tidak mengisahkan keheroikan pemerintah secara khusus. Justru kisah-kisah masyarakat di dalamnya lebih menarik buat didorong ke permukaan, baik bagi produser film maupun buat dinikmati penonton seperti saya. Bagi saya sebenarnya bukan tidak ingin menikmati bagaimana ‘banting tulangnya’ pemerintah menanggulangi wabah Covid-19. Hanya saja, cerita-cerita di masyarakat lebih meriah, walau kadang tak banyak yang benar. Pergulatan di media sosial, tulisan-tulisan pengamat, dan analisa ekonom jauh lebih menggiurkan untuk di telaah lebih dalam ketimbang menunggu setiap jam 4 sore pengumuman dari pemerintah tentang penambahan kasus positif, sembuh, dan meninggal karena Covid-19.  

Awal Kisah: Gelombang Saling Tolong Menolong

Pada awal kemunculan kasus dan mulai merebaknya wabah tersebut kemana-mana, manusia seolah memiliki musuh bersama. Musuh tersebut adalah virus atau wabah penyakit yang dapat mengurangi jumlah populasi manusia, bahkan memusnahkan. Kemudian manusia mulai berkumpul untuk melawan musuh tersebut. Meliputi, pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi. Semua bersatu untuk satu tujuan. Rasa simpati dan empati memenuhi permukaan bumi. Ada yang berperan sebagai algojo, ada yang tiba-tiba menjadi panglima perang, dan tidak sedikit mau ambil bagian sebagai penasihat di samping raja dan ratu. Pada masa-masa ini, manusia di dalam kedua film tersebut seakan melihat harapan kebangkitan umat manusia. 

Saya rasa Covid-19 sedang asyik berada pada gelombang ini. Tak terhitung organisasi relawan, profesi, perusahaan, bahkan individu per individu yang menyalurkan bantuan secara sukarela. Gelombang simpati dan empati betul-betul menghantam Covid-19. Walau saya tak tahu bagaimana hal itu bekerja, dalam imajinasi saya Covid-19 bagai penguasa yang sedang digulung-gulung gelombang rakyat. 

Ditengah Kisah: Arus Putus Asa

Kisah The Wlaking Dead dan The Rain adalah kisah yang panjang. Terutama The Walking Dead. Sejak dirilis akhir tahun 2010 silam, film tersebut masih terus berproduksi, hingga sekarang sudah sampai ke season 10. Tentu kisahnya pun berlanjut semakin seru dari sisi perfilman. Wabah the walkers makin menjadi-jadi. Hampir separuh dunia telah dihuni oleh para walkers (mayat hidup). Manusia tiba di titik tanpa pilihan. Arus kelompok per kelompok mulai tercipta dengan sendirinya. Masing-masing kelompok mempertahankan kelompoknya untuk tetap hidup. Segala upaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, termasuk perang antar kelompok. Saling membunuh sesama manusia tidak dapat dihindarkan. Pada episode-episode ini, walkers bukanlah sebuah ancaman. Justru pertemuan dengan manusia lebih mengerikan. Manusia melihat manusia bagai spesies lain yang tak kalah mengerikan ketimbang bertemu harimau di dalam hutan.

Imajinasi saya belum pernah membayangkan bagaimana Covid-19 dapat menghantarkan manusia pada arus keputusasaan. Yang saya lihat saat ini masing-masing negara sangat serius menangani wabah pandemi. Tetapi bukankah memang seperti itu tahapannya? Kita hanya butuh waktu yang lebih lama untuk menyerupai kisah The Rain dan The Walking Dead dalam kehidupan nyata. Lihatlah keramaian supermarket serta kelangkaan masker dan hand sanitizer, bukankah itu tanda-tanda kelak, bahwa kita, bukan tidak mungkin saling abai. 

Diakhir Kisah: Kehilangan Puncak Harapan

“Kepercayaan adalah harta yang paling mahal di dunia. Kepercayaan itu dapat dimiliki individu kelompok, maupun institusi.” Tulis Dr. Syahganda dalam tulisannya yang berjudul Habib Rizieq Trust Fund. Pada akhir-akhir episode dari The Rain dan The Walking Dead, persatuan antar kelompok nyaris tidak ada. Konflik bukan lagi antara satu kelompok dengan kelompok lain. Sebenarnya yang terjadi adalah kecurigaan antar individu masing-masing di dalam kelompok itu sendiri. Tidak ada lagi rasa saling percaya antar manusia karena ketamakan masing-masing. Yang ada adalah kecurigaan dan konflik. Pada tahap ini, keadaan semakin kacau. Tidak ada yang dapat dipercaya kecuali diri sendiri, itu pun jika hati dan pikiran anda mau berkompromi. Ada berita baik yang ingin saya sampaikan pada paragraf ini. Ketahuilah, terkadang tidak semua film melalui riset yang mendalam. Mungkin, The Rain dan The Walking Dead tidak benar-benar 100% melakukan riset sebelum menulis skenario film.

Penutup

“Kepercayaan adalah sumber interaksi sosial yang kuat.” lanjut Dr. Syahganda masih pada tulisan yang sama, “Dalam sebuah masyarakat, semakin banyak individu-individu yang dipercaya, akan semakin meningkatkan soliditas masyarakat tersebut.” Puncak harapan itu adalah kepercayaan. Dalam kasus Covid-19, jika kelak keberadaannya makin berbahaya, jika nanti eksistensinya makin tidak terkendali, kita sama-sama berharap dan berdoa, semoga kepercayaan antar manusia justru makin meningkat. Siapa yang tahu?

1 komentar:

Wihh ,canggih👍🏻

REPLY

Berikan komentar terbaikmu :)

Peradaban Muda . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates