Friday, 31 January 2020


Judul buku             : Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Penulis                   : Salim A. Fillah
Penerbit                 : Pro-u Media
Tahun Terbit           : 2019
Jumlah Halaman   : 632 hlm
Harga                     : Rp140.000,00

Literasi ini karya Salim A. Fillah. Seorang da’i sekaligus penulis yang kaya dengan perbendaharaan kata. Setelah menulis sekitar 13 buku non fiksi bertema remaja, pengembangan diri, dan cinta rumah tangga, akhirnya penulis melengkapi dengan pertamakali menulis fiksi, bertema sejarah pula. Sebuah tema yang cukup sulit untuk dikemas dalam sebuah novel, dan tentu akan sedikit peminat jika tak pandai meracik dan menyajikannnya. Namun, hal tersebut rasanya tertepiskan setelah membaca novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir dari awal kertas hingga huruf terakhirnya. Membuktikan betapa piawai penulis meramu kisah dan menghubungkannya hingga didapatlah benang merah.

Novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir menceritakan peperangan yang terjadi di tanah jawa pada periode 1825 – 1830 M. Pada literatur sejarah di bangku sekolah, kita mengenal dengan istilah Perang Diponegoro. Dalam buku sejarah di bangku sekolah, cerita tentang Pangeran Diponegoro sangat terbatas pada tahun, tempat, tokoh-tokoh yang ada, sampai pada pengasingan Pangeran hingga ia meninggal dalam masa pengasingan tersebut. Semua berisi hafalan yang seolah tak perlu dipahami apalagi dianalisa lebih jauh. Hingga kita terhenti pada kesimpulan buta, bahkan termakan kebohongan sejarah. Novel sejarah ini justru mengajak kita pada ruang diskusi terbuka dan mengasyikkan untuk mempelajari sejarah Sang Pangeran secara lebih dekat dan akurat.

Perang Diponegoro dalam novel ini mengandung arti mendalam yakni mengembalikan keluhuran agama Islam di tanah Jawa. Secara lengkap akan kita temui penggalan kisah asal muasal peperangan di dalam novel ini. Pembangunan jalan raya dari Ibu Kota Kasultanan menuju Magelang yang rutenya sengaja dibelokkan sedikit oleh Patih Danurejo IV ke Kali Winongo menerabas tanah milik Diponegoro di sebelah timur Puri Tegalrejo; tempat tinggal Pangeran. Dari situlah rencana jahat Patih Danurejo IV bersama Jendral Belanda dimulai. Siasat buruk tersebut bertujuan untuk menyulut api pemberontakan oleh Pangeran Diponegoro, yang dengan begitu mereka pikir akan dengan mudah meringkus Sang Pangeran. Nyatanya, malah justru mengobarkan semangat jihad, yang dikatakan para ahli sejarah menyebabkan kebangkrutan Pemerintah Kolonial dan Kerajaan Belanda.

 
Pangeran Diponegoro memimpin Perang Sabil bersama panglima dan ulama. Diantara mereka adalah Nurkandam Pasha, Katib Pasha, Murad, dan Orhan Agha yang didalam novel ini disebutkan sebagai pewaris sah Janissary kebanggaan Utsmani. Selain itu, ada pula Kyai Mojo yang menjadi penasihat agama utama selama perang, Pangeran Ngabehi dan Pangeran Mangkubumi yang mendampingi perjuangan keponakannya sebagai penasihat militer utama Pangeran Diponegoro. Ada pula Mertonegoro dan Gondokusumo, kakak beradik yang menjadi panglima perang. Ali Basah Abdul Kamil, menantu Pangeran Diponegoro menjadi Panglima Tertinggi pasukan. Sedangkan yang bertugas memimpin pemerintahan administratif atas wilayah-wilayah yang dikuasai Pangeran selama perang adalah Raden Adipatih Abdullah dan sebagai Panglima Tertinggi untuk wilayah barat Sungai Progo adalah Ali Basah Kertopengalasan (walau akhirnya mereka berdua terlebih dahulu meletakkan senjata dan bergabung dengan musuh). Juga dibantu oleh pasukan Barjamu’ah, yang dipimpin oleh keturunan Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam yaitu, Tuan Syarif Samparwedi. Cerita di dalam novel ini semakin manis oleh kisah kasih dan romantisme dengan hadirnya srikandi-srikandi cantik seperti Nuryasmin, Siti Fatmasari dan Sofiyawati. Juga ditambah dengan 2 orang keturunan Tionghoa, Siauw Cen Kwok dan Cao Wan Jie yang salah satu diantaranya memberikan kenyataan pahit dan kejutan bagi saya.

Pada pihak lawan juga banyak tokoh yang dimunculkan seperti Kapten Prager dan Kapitan Joost, dua perwira muda kavaleri Belanda tersebut menjadi salah satu tokoh utama. Tak kalah berperan adalah Kolonel Jan Baptiste Cleerens, Juru Runding Belanda yang berhasil membujuk Pangeran Diponegoro berunding dengan Jenderal De Kock – Jenderal yang ‘menelanjangkan’ dirinya sendiri di meja perundingan. Juga yang menarik untuk dijadikan pelajaran adalah karakter pendendam Raden Adipati Danurejo IV, seorang pribumi yang ditemani Wironegoro menjadi pendukung Pemerintah Kolonial Belanda. Cukup banyak tokoh yang dimunculkan dalam novel ini, yang diakui oleh penulis telah disederhanakan dengan berbagai cara. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengetahui peran dari nama-nama tersebut sebelum membaca novel lebih jauh agar mempermudah pembaca menyelami kisah-kisah didalamnya.

Walau dalam suasana peperangan, penulis tidak terjebak dalam komunikasi dan suasana yang kaku. Dialog-dialog yang dihadirkan sangat hidup, lucu, jenaka, dan terkadang hadir pada kondisi-kondisi genting. Misalnya saat Pangeran Diponegoro sakit kemudian dirawat oleh abdi setianya Joyo Suroto dan Banteng Wareng. Berikut salah satu kutipan dialog mereka saat melihat junjungannya muntah-muntah:

“Dhi … Kambuh ini, Dhi … Cepat ambilkan air bersih Dhi!”
“Iya, Kang. Bumbung-nya di mana?”
“O Allah … Ya dicari to! Atau pakai batok kelapa ini kan juga bisa! Sana cepat, terus kalau sudah antar ke sini lalu kamu turun ke lembah sebelah utara situ! Cari daun dadap, temu ireng, sama daun sambiloto atau papaya kalau ada!”
“Biyuuuuhhh … Banyak betul tugase nyong!”
“Kalau membantah lagi kusumpal pakai tumit lho mulutmu, Dhi! Cepat to!”
“Iyyyaaa …,” sungut Banteng Wareng sambil berlari ke mata air lalu bergegas kembali dan mengulurkan tempurung pada kawannya.

Dialog seperti itu akan beberapa kali ditemukan. Bahkan saat kondisi sedang berperang. Ada saja tingkah jenaka dari tokoh-tokoh tersebut yang semakin meriuhkan novel fiksi sejarah ini.

Selain didukung data yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan, novel bergenre fiksi sejarah karya Salim A. FIllah ditulis dengan pendekatan emosional yang luar biasa mendalam. Semua karakter tokoh yang dimunculkan nyaris sempurna membawakan perannya, melalui tulisan yang detail dan menarik. Satu adegan yang cukup mendebarkan yang dibangun dari konflik panjang adalah pertemuan Katib Pasha dan Katib Nurkandam. Tatkala keduanya dipertemukan dalam selisih paham dan tidak menjumpai titik temu, sungguh penulis berhasil meringis-ringis hati pembaca. Begini mereka berkata-kata:

“Tidak bisa, Kanda. Sudah tak ada waktu lagi untuk kata-kata. Kita harus bereskan dulu urusan di antara kita! Setelah selesai kauminum tehmu, cabut pedangmu dan kita akan bertarung di sini sampai salah seorang di antara kita mati!”
“Apa?” serempak semua memekik mendengar ucapan Nurkandam.“Maktuub. Jika begitu, mengapa harus menunggu sepeminum teh? Cabut pedangmu sekarang, Dinda!”

Beberapa kisah saat terjadi perang, juga diceritakan dengan detail dalam novel fiksi sejarah ini. Mulai dari keadaan sekitar, jarak antar lawan, senjata yang digunakan, kendaraan yang ditunggangi, hingga liak-liuk panglima bersama prajurit yang tangkas dan pandai dalam beradu bela diri.

Meskipun bergenre fiksi sejarah perang, tidak berarti hanya diisi kebencian, pertumpahan darah, atau kalah-menang. Siapa sangka, kisah suami-istri dalam novel ini menjadi penggairah pembaca milenial. Kisahnya jauh lebih romantis dari cerita Romeo dan Juliet, Cleopatra dan M Anthony, Rama dan Shinta, atau Hayati dan Zainudin sekalipun. Pasalnya, cinta Katib Pasha dan Nuryasmin dalam novel ini bagai paduan irama gendang, “Tak dum tak, dum dum!” menggairahkan, memilukan, sekaligus mengharukan. Ditambah lagi puisi-puisi ‘nakal’ yang wanita manapun tatkala membacanya akan senyum-senyum sendiri kemudian terbang entah sampai dimensi mana. Silahkan baca puisi karya Nurkandam Pasha berikut ini, yang didalam buku ini dituliskan masih kekanak-kanakan sekali susunan katanya bila dibandingkan dengan syair Katib Pasha: 

Kucampur susu ke dalam kopiku, kuletak minyak misk di dekat cangkirnya. Tapi tanpa hadirmu, lembut dan harumnya begitu fana.

Kutuang madu dalam tehku, kutaruh bunga disamping cawannya. Tapi tanpa senyummu, ada pahit menyesak memenuhi dada.

Jarak dan waktu coba menyembunyikan kecantikanmu. Sayang keduanya tak tahu bahwa senyum yang terukir di hatiku lebih jelita dari segala nyata.

Ketika rindu melengking sebelum terempas; ketika jumpa kita hanya terpisah sehela napas; seluruh ufuk menggerimiskan wajahmu dengan deras.

Duhai, tahukah kamu; senyum di wajahmu, yang basah oleh wudhu di sela tilawah syahdu, adalah seiris surge tersiram madu… 

Kemudian dilanjutkan dengan syair yang ditulis Katib Pasha. Saya meyakini semua puisi-puisi ‘nakal’ di dalam novel ini sebenarnya karya dan koleksi penulis itu sendiri. Hal ini dikarenakan memang, sejauh yang saya amati penulis cukup lincah dalam hal-hal demikian.

Pada akhir cerita novel ini akan kita ketahui bahwa, pengasingan yang dialami oleh Sultan Abdul Hamid Diponegoro, sungguh bukanlah karena kekalahan, ketidakberdayaan, atau lemahnya strategi. Tidak. Bahkan peperangan 5 tahun tersebut sudah menimbulkan kebangkrutran pemerintah kolonial. Penyebabnya adalah pengingkaran janji dan pengkhianatan perang. Seorang jendral kolonial yang menelanjangkan dirinya atas penipuan dan khianat  akhirnya dicatat dan diabadikan oleh sejarah. Pengasingan Pangeran Diponegoro bagai episode dalam sinetron yang banyak mengecewakan penonton. Bagaimana tidak, kisah heroik Sang Pangeran diakhiri oleh pengkhianatan. Andai saja ini hanya fiktif, ingin rasanya saya protes pada penulis, “Aduh, Pak Salim, kok anti klimaks sih ceritanya!” tetapi, apa boleh buat. Memang seperti itulah sejarah mencatat. Kunjungan damai yang dilapisi maksud negosiasi, bahkan termaktub janji keselamatan Pangeran sepanjang proses tersebut, bubar semua. Para jenderal kolonial sungguh nista, “Jika paduka kembali, maka pasti api peperangan berkobar lagi.” Gitu kata mereka, takut Coy.

Sebuah karya tentulah tidak ada yang sempurna. Demikian pula novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir. Banyaknya tokoh dengan nama-nama panjang dan asing cukup menyulitkan pembaca untuk mengingatnya, apalagi alur cerita yang digunakan adalah alur campuran. Sehingga perlu pengulangan dan bolak-balik kertas. Bagi sebagian orang hal tersebut perlu dilakukan demi memahami betul isi cerita. Namun, bagi sebagian lain yang sungkan mengulang-ulang, mereka akan terjebak pada kebingungan dari satu kisah ke kisah yang lain. Pada keadaan ini, saya akui memang pembaca dituntut untuk teliti dan tidak asal baca. Kritik saya selanjutnya adalah pada bahasa yang digunakan. Pembaca yang terbiasa berinteraksi dengan orang jawa - walau tidak bisa berbahasa jawa, kemungkinan besar dapat memahami maksud dari percakapan. Namun, bagi sebagian lain yang tidak pernah sama sekali atau jarang berinteraksi dengan bahasa jawa tentu akan mengalami kesulitan menerjemahkan maksudnya. Walau sudah dibantu dengan catatan kaki, saya merasa catatan kaki tersebut masih kurang. Dan terakhir, karena cukup banyak konflik, saya berharap setiap episode di dalam novel ini terdapat judul bukan hanya nomor. Hal tersebut membantu untuk mengingat dan memberikan batasan dari kisah yang satu dengan yang lain.

Terimakasih kepada penulis atas rangkain sejarah yang telah dikemas dalam bentuk novel untuk mudah dipahami. Bila disejajarkan dengan novel karya penulis-penulis besar seperti Habiburrahman El Shirazy, Helvy Tiana Rosa, atau penulis fiksi sejarah semisal Zaynur Ridwan dan Rizki Ridyasmara; Novel ini berkualitas diatas rata-rata. Melalui novel ini juga kisah Pangeran Diponegoro makin terasa lengkap dengan ruh jawa yang benar-benar terasa. Pembaca sungguh dimanjakan untuk mempelajari sejarah dengan bahagia, layaknya menonton drama kolosal yang dipenuhi ilmu pengetahuan. Oh ya, bagaimana kelanjutan Nurkandam Pasha? Jadi ia menikah dengan siapa Pak Ustad? Saya penasaran dan berharap ada halaman selanjutnya tentang cerita beliau, he he he. Sekali lagi, terimakasih dan jazakaAllahu khair.

2 komentar

Dinda Dodo, apakah sudah memiliki buku tersebut?

REPLY

Berikan komentar terbaikmu :)

Peradaban Muda . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates