Belago Nian! (Terinspirasi dari Pemilihan Presma Unsri 2015)
Paduan suara jangkrik perlahan mengisi keheningan malam. Lampu-lampu mulai padam dari tiap petak ruang yang telah terbagi rata. Gedung pusat kegiatan mahasiswa tersebut menyisakan cahaya tepat di bagian tengah. Satu bohlam lampu berjuang sebatang kara.
Tidak
jauh dari pintu masuk dari sayap kiri gedung, sepasang bola mata masih terjaga
meski suasana ruangan telah gelap.
Hariz, Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) Universitas yang terpilih atas sidang
DPMU (Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas) masih belum percaya dengan beban
yang ia hadapi saat ini. Otaknya terus berpikir bagaimana menjaga pemilihan
Presma (Presiden Mahasiswa) berlangsung jujur dan adil. Sesekali ia tengok
sebelah kiri, "Huh," hembus napasnya berat melihat 2 rekannya telah
tertidur pulas.
"Tok
tok," terdengar suara ketukan pintu
"Ha,
siapa tengah malam buta gini mampir
ke sekret?" bisik Hariz dalam
hati
"Halo,
ada orang tidak sih di dalam!" geram pengunjung yang tidak sendirian,
"Hei!" teriak pengunjung yang lain.
Hariz
mulai menduga-duga, mungkinkah pasangan calon Presma, atau preman-preman kampus
yang sok jagoan tadi siang. Ia memperkirakan jumlah mereka ada 7 sampai dengan
8 orang. "Bud, Galuh, bangun!" bisik Hariz pelan dengan nada tertekan
membangunkan kedua rekannya.
Di
depan sekretariat KPU sudah ada 7 orang anak muda menunggu pintu dibuka. Mereka
adalah tim sukses pasangan calon Presma dari kelompok nasionalis. Hariz berdiri
malas menuju pintu sembari mengucek matanya yang batal menuju kantuk. Ia buka
teralis besi pintu dan melirik ke luar, "Ada apa ya?"
"Kami
mau mengumpulkan syarat yang masih kurang, diterima gak?" tanya salah satu dari gerombolan tersebut dengan nada
datar.
Setiap
calon Presma harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan. KPU Universitas telah
mengumumkan bahwa sekretariat KPU buka 24 jam untuk pengumpulan berkas
tersebut. Hariz pun mengumpat habis di dalam hati, "Waduh, memang jadi
bumerang, seharusnya dibatasin, enggak 24 jam juga." pikir Hariz
mengevaluasi diri.
"Oh,
ya, silahkan masuk dulu." sambil menunjuk kursi Hariz mempersilahkan perwakilan
kelompok itu untuk duduk.
Budi
dan Galuh yang telah berdiri dibelakang Hariz berinisiatif untuk menghidupkan
lampu. Keduanya kompak berbagi tugas pada dua saklar yang berjauhan.
Satu
orang perwakilan masuk ke dalam sekret untuk mengumpulkan berkas, "Udah
ya, Paslon (pasangan calon) dari kami telah cukup kan syarat
administrasinya?"
"Nanti kami kabarkan, ini harus diverifikasi
dulu." jawab Hariz tenang
"Ye,
gak percayaan amat sih," umpat
salah seorang bagian kelompok tersebut dari luar ruang memancing emosi.
Hariz
mengembuskan nafas pelan, "Kita butuh waktu untuk mengecek dokumen kalian,
ini juga sudah pukul 2 dini hari, kami butuh istirahat."
"Hu,
katanya 24 jam, gak profesional
banget sih!" suara sumbang terdengar lagi dari luar.
"Hey,
kita ini bukan orang yang digaji kayak KPU beneran, ini kerja organisasi!"
Sahut Budi tak tahan untuk membela
"Ya,
kalau gak sanggup jadi KPU mending
mundur aja lah,"
"Ya,
mundur aja woy!" teriak yang lain mengaminkan.
"Sudah-sudah
Bud, memang salah kita." ucap Hariz pelan menenangkan.
Hariz
kembali menatap perwakilan kelompok yang ada dihadapannya, "Baik ya bang,
sesegera mungkin kami kabarkan jika sudah terverifikasi."
"Jangan
lama-lama, ya!" jawab perwakilan itu, Hariz hampir terpancing geram. Ia mencerca
habis-habisan. Dalam hatinya ia sepakat mereka ini adalah orang-orang barbar,
tidak mengerti proses. Maunya cepat selesai.
"Siap,
diusahakan, Bang!" tutup Hariz tak mau menuruti emosi dan menghindari
perdebatan lebih panjang. Selain khawatir akan terjadi keributan, ia pun sudah
merasa sangat mengantuk.
***
Cahaya
senja menyelimuti gedung rektorat dan auditorium kampus. Suasana ramai di
sekitar lapangan depan gedung mulai berangsur lengang. Tiap-tiap raga telah
selesai menunaikan hajatnya. Hari telah mau tutup usia, sedangkan malam bersiap
menyambut kelahiran. Dari kejauhan, nampak satu komunitas masih membentuk
lingkaran. Belum ada tanda-tanda usai. Asisten wasit seakan tidak mau
mengangkat papan sisa waktu. Diskusi masih hangat. Sangat hangat.
"Baik,
saudara-saudaraku sekalian, materi dari Kak Sidiq telah selesai," sambung
moderator setelah pembicara mengucap salam, "Sekarang, saatnya sesi tanya
jawab."
Fattah yang sedari tadi menunggu sesi ini,
langsung mengangkat tangannya.
"Ya,
silahkan Fat,"
"Terimakasih, Kak," tanpa panjang
lebar Fattah langsung pada inti pertanyaan, "Saya hanya ingin bertanya,
jadi bagaimana sikap kita dengan Pemilu Presma Universitas yang tidak lama
lagi?" wajah Fattah terlihat ragu, "Bukankah ini hampir sama dengan
Pemilu nasional yang memakai sistem demokrasi, sedangkan kita tahu demokrasi
itu haram!" tutupnya sedikit geram.
Moderator
melirik pembicara. Kak Sidiq mengerti, ia diminta untuk langsung menjawab,
"Pada dasarnya kita semua menolak sistem demokrasi karena itu adalah
produk barat." nada Kak Sidiq sangat tenang dan tegas, "Namun, kita
harus membedakan. Pemilu Presma Universitas tidaklah berdampak apa-apa untuk
sebuah negara, karena itu untuk konteks ini, semua dikembalikan ke individu
masing-masing." pungkas Kak Sidiq menyimpulkan.
Komunitas
yang biasa disebut GEMA (Gerakan Mahasiswa) Pembebasan itu telah berada di
ujung diskusi. Mereka menutup majelis tersebut dengan doa penutup majelis.
Sebenarnya masih banyak pertanyaan di benak Fattah, namun ia sadar waktu tidak
memungkinkan. Lagian, masih ada kesempatan pada pertemuan selanjutnya atau jika
mau ia bisa bermain ke indekos Kak Sidiq setiap saat, “Jangan sungkan-sungkan
buat diskusi, main aja ke kontrakan
kakak,” pesan Kak Sidiq pada Fattah di awal-awal perkenalan.
***
Semilir
angin malam menyapu pepohonan. Ranting menari-nari bersama daun-daun yang
melambai lembut gemulai. Embusan udara dingin telah menggetarkan bulu kuduk.
Ah, ini kan waktu-waktu yang paling nyaman untuk tidur lelap.
Suara
gemericik air memecah kesunyian. Intonasinya tersekat-sekat menabrak bagian
tubuh yang tak asing. Seorang insan membasahi permukaan raganya; telapak
tangan, mulut, muka, kedua tangan, rambut hingga kedua kaki sebagai rukun wudu.
Setan murka sekali melihatnya.
"Allahuakbar,"
Hariz mengawali salat tahajudnya malam ini. Tidak seperti biasanya, satu minggu
terakhir ini, Hariz bangun lebih awal untuk mendapatkan 8 rakaat.
Semenjak
ditunjuk sebagai ketua KPU Universitas, Hariz bagai memikul beban amanah yang
begitu berat. Ia khawatir tidak dapat berlaku adil dan jujur. Terlebih lagi
citranya sebagai anak Lembaga Dakwah Fakultas, seolah menyiratkan ia akan berpihak
kepada salah satu calon.
"Sudahlah
Riz, jangan kamu terima amanah itu," tanggap Fattah ketika Hariz
menceritakan penunjukan dirinya sebagai ketua KPU, "Citra kamu sudah baik
malah bakal buruk karena keberpihakan."
"Keberpihakan
bagaimana, Fat yang kamu maksud?"
"Ya, kamu kan dikenal sebagai anak LDF,
salah satu bakal calon berasal dari fakultas kamu dan sebelumnya juga aktif di
LDF," terang Fattah, "sudah pasti akan memancing kecurigaan dan isu
keberpihakan." lanjut Fattah melengkapi analisisnya.
Hariz
hanya mendengarkan nasihat sahabat satu kontrakannya tersebut. Fokusnya ada
pada kata keberpihakan. Sedapat mungkin harus ia hindari potensi itu. Tidak
melakukan apa-apa saja sudah dicurigai, apalagi jika betul-betul berpihak.
Satu-satunya
tempat Hariz mengadu saat ini adalah Allah. Melalui salat tahajud ia berusaha
berkomunikasi lebih dekat kepada Sang Khalik, agar diberi ketenangan dan
kekuatan menghadapi setiap masalah.
***
Setelah
satu bulan melewati hal yang melelahkan; kampanye anti apatis, kampanye anti
golput, persiapan berkas-berkas, debat kandidat, sampai pada proses pemungutan
suara yang penuh drama dan ketegangan dari masing-masing pihak. Tibalah saatnya
pada tahap akhir dari pemilu Presma sebelum benar-benar dilantik, yakni proses
perhitungan suara.
"Baik
teman-teman, kotak suara telah terkumpul semua," lanjut Hariz setelah
membuka acara tersebut, "Kita akan mulai melakukan perhitungan dari semua
kotak."
Pemilu
presma tahun ini cukup beda dengan sebelumnya. Jika sebelumnya hanya ada dua
pasang calon, kini ada 3 pasang calon sekaligus. Bila sebelumnya hanya diikuti
oleh kaum adam, kini salah satu calon adalah kaum hawa.
Sejak
siang tadi telah terdengar desas-desus bahwa pasangan nomor 2 menang mutlak di
semua TPS. Paslon nomor 2 bisa dikategorikan golongan Islam kanan, sedangkan
Paslon nomor 1 dan 3 adalah Islam kiri dan nasionalis. Perhitungan malam ini
sudah bisa ditebak, Paslon nomor 2 hampir 100% memenangkan pemilu.
"Instruksi
pimpinan sidang," salah satu peserta rapat yang berambut gondrong
mengacungkan jarinya, "Banyak laporan kecurangan yang masuk kepada kami,
sebaiknya hasil perhitungan ini ditunda sampai ada kejelasan!" tegasnya
dengan nada meninggi.
"Ya,
betul!" timpal rekan disampingnya.
"Boikot
saja!" suara provokasi mulai terdengar dari luar ruangan.
"Tolong
yang di luar kalau mau bicara, masuk ke dalam!" Ujar Budi menanggapi tak
sabar.
Orang
yang dimaksud tersinggung dan menerobos barikade pintu yang dijaga Resimen
Mahasiswa, "Woy, mau lu apa! ha!" sambil menunjukkkan jari
telunjuknya ia berjalan cepat menuju Budi.
ketegangan
tidak terelakkan, darah muda mahasiswa sudah tersulut api amarah. Budi telah
bersiap dengan ilmu bela diri yang ia pelajari sejak taman kanak-kanak. Di lain
pihak, provokator tadi tidak sendiri, gerombolannya ikut masuk mengikuti.
Hariz
dengan sigap mengambil pelantang suara, "Sudah, cukup!"
Rombongan
Resimen Mahasiswa dengan sigap menghalau pertikaian, perusuh segera di dorong
mundur ke luar ruangan.
"Yang
kita lakukan saat ini bukanlah politik praktis namun politik moral," Hariz
berdiri tegap berusaha menenangkan, "Maka setiap permasalahan yang ada,
tolong kita selesaikan secara moral dan etika." tegas Hariz tanpa ragu.
Di
luar ruangan, gerombolan perusuh tadi belum juga bubar. Rupanya mereka
tersinggung dengan kalimat Hariz, "Politik moral?" ujarnya meniru,
" Apa maksudnya kita ini, gak
punya moral, blangsak gitu!" ungkapnya memprovokasi
teman-teman yang lain.
"Wah,
kurang ajar banget, sih!" tanggap yang lain.
"Anak
mana ketua KPU itu, kita selesaikan malam ini aja, Bang!" pungkas salah satu mereka dan diikuti anggukan
yang lain.
***
Malam
semakin larut. Tahapan perhitungan suara tiba pada pembacaan keputusan. Paslon
nomor 2 ditetapkan sebagai pemenang.
"Tuk
tuk tuk." palu sidang diketuk tiga kali tanda rapat telah selesai.
Seluruh
tim KPU Universitas yang dijuluki the
orange, terutama rombongan kaum hawa, mulai meninggalkan lokasi dengan
pengamanan dari Resimen Mahasiswa. Hariz khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan kepada timnya.
Hariz
pulang paling akhir bersama tim intinya, Budi dan Galuh. Tanpa ada firasat aneh
sedikitpun mereka pulang menuju sekretariat KPU untuk istirahat, mengingat
waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.
Jalanan
di setiap sudut kampus sangat gelap. Sudah menjadi rahasia umum, jika malam
tiba, kampus ini seperti hilang ditelan bumi. Terlebih lagi jalanan menuju
sekretariat KPU. Hanya ada satu lampu di pertigaan jalan, setelahnya hanya ada
lubang pemantik emosi.
"Eh,
eh, Kenapa berhenti, Bud?" tanya Hariz terkejut saat Budi menekan rem
mendadak.
"Tuh lihat, ada orang mau jual
nyawanya!" Geram Budi sambil melentikkan jari dan leher.
Belum
juga selesai jantung Hariz berdegup, karena melihat puluhan gerombolan perusuh
tadi menghadang. Tiba-tiba dari belakang terlihat kakak, teman, dan adik di
organisasi Lembaga Dakwah Fakultas. Bukan hanya Fakultasnya tetapi juga dari Fakultas
lain. Hampir lengkap kecuali LDF Kedokteran, mungkin mereka sedang praktek sentil Hariz dalam hati. Mereka
berbaris rapi menunggangi motor berboncengan. Hariz seakan melihat perang Uhud
di depan mata segera pecah.
Ah,
masih ada satu rombongan lagi, "Siapa itu?" gumam Hariz pelan sembari
menyipitkan mata, "Ha, Fattah?"
Fattah
segera merengsek maju ke depan, "Iya Riz, aku dapat info kamu akan di
keroyok!"
Hariz terkejut dengan informasi itu, "Ha,
dikeroyok? Emang aku salah apa?" ucapnya keheranan.
"Entahlah,
walaupun kami tidak pro demokrasi,
tetapi jika saudara seiman kami dizalimi, kami siap pasang badan, Riz!"
getir Fattah yang diamini oleh rekan Gemanya yang lain.
Masing-masing
kubu telah bersiap dengan kekuatannya masing-masing. Gerombolan perusuh tadi,
juga sudah menghubungi anak-anak Mapala kampus agar mengirimkan bala bantuan.
Hariz seakan melihat nyata perpecahan Pilpres tahun lalu. Masyarakat terbelah
menjadi dua bagian. Kini ia melihat kelompok Islam seakan berbenturan dengan
kelompok sebutlah nasionalis.
Sebelum
perang itu benar-benar pecah, "Teman-teman pemilu ini sudah
berakhir." letih Hariz menutup.
-Sekian-
Berikan komentar terbaikmu :)