Tuesday, 2 February 2021


Paduan suara jangkrik perlahan mengisi keheningan malam. Lampu-lampu mulai padam dari tiap petak ruang yang telah terbagi rata. Gedung pusat kegiatan mahasiswa tersebut menyisakan cahaya tepat di bagian tengah. Satu bohlam lampu berjuang sebatang kara.

Beberapa ruang komunitas mahasiswa sudah lengang. Gedung yang selalu ramai ketika akhir pekan itu mulai diselimuti suasana sunyi. Hanya ada satu atau dua ruangan yang masih terdengar kasak-kusuk, sisanya telah berubah menjadi remang-remang. Beberapa mahasiswa memang sudah jadi penghuni tetap di gedung ini. Mereka seperti menemukan indekos keduanya. Apalagi mendekati akhir tahun, banyak kegiatan dari masing-masing komunitas yang menambah ramai suasana.

Tidak jauh dari pintu masuk dari sayap kiri gedung, sepasang bola mata masih terjaga meski suasana  ruangan telah gelap. Hariz, Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) Universitas yang terpilih atas sidang DPMU (Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas) masih belum percaya dengan beban yang ia hadapi saat ini. Otaknya terus berpikir bagaimana menjaga pemilihan Presma (Presiden Mahasiswa) berlangsung jujur dan adil. Sesekali ia tengok sebelah kiri, "Huh," hembus napasnya berat melihat 2 rekannya telah tertidur pulas.

"Tok tok," terdengar suara ketukan pintu

"Ha, siapa tengah malam buta gini mampir ke sekret?" bisik Hariz dalam hati

"Halo, ada orang tidak sih di dalam!" geram pengunjung yang tidak sendirian, "Hei!" teriak pengunjung yang lain.

Hariz mulai menduga-duga, mungkinkah pasangan calon Presma, atau preman-preman kampus yang sok jagoan tadi siang. Ia memperkirakan jumlah mereka ada 7 sampai dengan 8 orang. "Bud, Galuh, bangun!" bisik Hariz pelan dengan nada tertekan membangunkan kedua rekannya.

Di depan sekretariat KPU sudah ada 7 orang anak muda menunggu pintu dibuka. Mereka adalah tim sukses pasangan calon Presma dari kelompok nasionalis. Hariz berdiri malas menuju pintu sembari mengucek matanya yang batal menuju kantuk. Ia buka teralis besi pintu dan melirik ke luar, "Ada apa ya?"

"Kami mau mengumpulkan syarat yang masih kurang, diterima gak?" tanya salah satu dari gerombolan tersebut dengan nada datar.

Setiap calon Presma harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan. KPU Universitas telah mengumumkan bahwa sekretariat KPU buka 24 jam untuk pengumpulan berkas tersebut. Hariz pun mengumpat habis di dalam hati, "Waduh, memang jadi bumerang, seharusnya dibatasin, enggak 24 jam juga." pikir Hariz mengevaluasi diri.

"Oh, ya, silahkan masuk dulu." sambil menunjuk kursi Hariz mempersilahkan perwakilan kelompok itu untuk duduk.

Budi dan Galuh yang telah berdiri dibelakang Hariz berinisiatif untuk menghidupkan lampu. Keduanya kompak berbagi tugas pada dua saklar yang berjauhan.

Satu orang perwakilan masuk ke dalam sekret untuk mengumpulkan berkas, "Udah ya, Paslon (pasangan calon) dari kami telah cukup kan syarat administrasinya?"

 "Nanti kami kabarkan, ini harus diverifikasi dulu." jawab Hariz tenang

"Ye, gak percayaan amat sih," umpat salah seorang bagian kelompok tersebut dari luar ruang memancing emosi.

Hariz mengembuskan nafas pelan, "Kita butuh waktu untuk mengecek dokumen kalian, ini juga sudah pukul 2 dini hari, kami butuh istirahat."

"Hu, katanya 24 jam, gak profesional banget sih!" suara sumbang terdengar lagi dari luar.

"Hey, kita ini bukan orang yang digaji kayak KPU beneran, ini kerja organisasi!" Sahut Budi tak tahan untuk membela

"Ya, kalau gak sanggup jadi KPU mending mundur aja lah,"

"Ya, mundur aja woy!" teriak yang lain mengaminkan.

"Sudah-sudah Bud, memang salah kita." ucap Hariz pelan menenangkan.

Hariz kembali menatap perwakilan kelompok yang ada dihadapannya, "Baik ya bang, sesegera mungkin kami kabarkan jika sudah terverifikasi."

"Jangan lama-lama, ya!" jawab perwakilan itu, Hariz hampir terpancing geram. Ia mencerca habis-habisan. Dalam hatinya ia sepakat mereka ini adalah orang-orang barbar, tidak mengerti proses. Maunya cepat selesai.

"Siap, diusahakan, Bang!" tutup Hariz tak mau menuruti emosi dan menghindari perdebatan lebih panjang. Selain khawatir akan terjadi keributan, ia pun sudah merasa sangat mengantuk.

***

Cahaya senja menyelimuti gedung rektorat dan auditorium kampus. Suasana ramai di sekitar lapangan depan gedung mulai berangsur lengang. Tiap-tiap raga telah selesai menunaikan hajatnya. Hari telah mau tutup usia, sedangkan malam bersiap menyambut kelahiran. Dari kejauhan, nampak satu komunitas masih membentuk lingkaran. Belum ada tanda-tanda usai. Asisten wasit seakan tidak mau mengangkat papan sisa waktu. Diskusi masih hangat. Sangat hangat.

"Baik, saudara-saudaraku sekalian, materi dari Kak Sidiq telah selesai," sambung moderator setelah pembicara mengucap salam, "Sekarang, saatnya sesi tanya jawab."

 Fattah yang sedari tadi menunggu sesi ini, langsung mengangkat tangannya.

"Ya, silahkan Fat,"

 "Terimakasih, Kak," tanpa panjang lebar Fattah langsung pada inti pertanyaan, "Saya hanya ingin bertanya, jadi bagaimana sikap kita dengan Pemilu Presma Universitas yang tidak lama lagi?" wajah Fattah terlihat ragu, "Bukankah ini hampir sama dengan Pemilu nasional yang memakai sistem demokrasi, sedangkan kita tahu demokrasi itu haram!" tutupnya sedikit geram.

Moderator melirik pembicara. Kak Sidiq mengerti, ia diminta untuk langsung menjawab, "Pada dasarnya kita semua menolak sistem demokrasi karena itu adalah produk barat." nada Kak Sidiq sangat tenang dan tegas, "Namun, kita harus membedakan. Pemilu Presma Universitas tidaklah berdampak apa-apa untuk sebuah negara, karena itu untuk konteks ini, semua dikembalikan ke individu masing-masing." pungkas Kak Sidiq menyimpulkan.

Komunitas yang biasa disebut GEMA (Gerakan Mahasiswa) Pembebasan itu telah berada di ujung diskusi. Mereka menutup majelis tersebut dengan doa penutup majelis. Sebenarnya masih banyak pertanyaan di benak Fattah, namun ia sadar waktu tidak memungkinkan. Lagian, masih ada kesempatan pada pertemuan selanjutnya atau jika mau ia bisa bermain ke indekos Kak Sidiq setiap saat, “Jangan sungkan-sungkan buat diskusi, main aja ke kontrakan kakak,” pesan Kak Sidiq pada Fattah di awal-awal perkenalan.

***

Semilir angin malam menyapu pepohonan. Ranting menari-nari bersama daun-daun yang melambai lembut gemulai. Embusan udara dingin telah menggetarkan bulu kuduk. Ah, ini kan waktu-waktu yang paling nyaman untuk tidur lelap.

Suara gemericik air memecah kesunyian. Intonasinya tersekat-sekat menabrak bagian tubuh yang tak asing. Seorang insan membasahi permukaan raganya; telapak tangan, mulut, muka, kedua tangan, rambut hingga kedua kaki sebagai rukun wudu. Setan murka sekali melihatnya.

"Allahuakbar," Hariz mengawali salat tahajudnya malam ini. Tidak seperti biasanya, satu minggu terakhir ini, Hariz bangun lebih awal untuk mendapatkan 8 rakaat.

Semenjak ditunjuk sebagai ketua KPU Universitas, Hariz bagai memikul beban amanah yang begitu berat. Ia khawatir tidak dapat berlaku adil dan jujur. Terlebih lagi citranya sebagai anak Lembaga Dakwah Fakultas, seolah menyiratkan ia akan berpihak kepada salah satu calon.

"Sudahlah Riz, jangan kamu terima amanah itu," tanggap Fattah ketika Hariz menceritakan penunjukan dirinya sebagai ketua KPU, "Citra kamu sudah baik malah bakal buruk karena keberpihakan."

"Keberpihakan bagaimana, Fat yang kamu maksud?"

 "Ya, kamu kan dikenal sebagai anak LDF, salah satu bakal calon berasal dari fakultas kamu dan sebelumnya juga aktif di LDF," terang Fattah, "sudah pasti akan memancing kecurigaan dan isu keberpihakan." lanjut Fattah melengkapi analisisnya.

Hariz hanya mendengarkan nasihat sahabat satu kontrakannya tersebut. Fokusnya ada pada kata keberpihakan. Sedapat mungkin harus ia hindari potensi itu. Tidak melakukan apa-apa saja sudah dicurigai, apalagi jika betul-betul berpihak.

Satu-satunya tempat Hariz mengadu saat ini adalah Allah. Melalui salat tahajud ia berusaha berkomunikasi lebih dekat kepada Sang Khalik, agar diberi ketenangan dan kekuatan menghadapi setiap masalah.

***

Setelah satu bulan melewati hal yang melelahkan; kampanye anti apatis, kampanye anti golput, persiapan berkas-berkas, debat kandidat, sampai pada proses pemungutan suara yang penuh drama dan ketegangan dari masing-masing pihak. Tibalah saatnya pada tahap akhir dari pemilu Presma sebelum benar-benar dilantik, yakni proses perhitungan suara.

"Baik teman-teman, kotak suara telah terkumpul semua," lanjut Hariz setelah membuka acara tersebut, "Kita akan mulai melakukan perhitungan dari semua kotak."

Pemilu presma tahun ini cukup beda dengan sebelumnya. Jika sebelumnya hanya ada dua pasang calon, kini ada 3 pasang calon sekaligus. Bila sebelumnya hanya diikuti oleh kaum adam, kini salah satu calon adalah kaum hawa.

Sejak siang tadi telah terdengar desas-desus bahwa pasangan nomor 2 menang mutlak di semua TPS. Paslon nomor 2 bisa dikategorikan golongan Islam kanan, sedangkan Paslon nomor 1 dan 3 adalah Islam kiri dan nasionalis. Perhitungan malam ini sudah bisa ditebak, Paslon nomor 2 hampir 100% memenangkan pemilu.

"Instruksi pimpinan sidang," salah satu peserta rapat yang berambut gondrong mengacungkan jarinya, "Banyak laporan kecurangan yang masuk kepada kami, sebaiknya hasil perhitungan ini ditunda sampai ada kejelasan!" tegasnya dengan nada meninggi.

"Ya, betul!" timpal rekan disampingnya.

"Boikot saja!" suara provokasi mulai terdengar dari luar ruangan.

"Tolong yang di luar kalau mau bicara, masuk ke dalam!" Ujar Budi menanggapi tak sabar.

Orang yang dimaksud tersinggung dan menerobos barikade pintu yang dijaga Resimen Mahasiswa, "Woy, mau lu apa! ha!" sambil menunjukkkan jari telunjuknya ia berjalan cepat menuju Budi.

ketegangan tidak terelakkan, darah muda mahasiswa sudah tersulut api amarah. Budi telah bersiap dengan ilmu bela diri yang ia pelajari sejak taman kanak-kanak. Di lain pihak, provokator tadi tidak sendiri, gerombolannya ikut masuk mengikuti.

Hariz dengan sigap mengambil pelantang suara, "Sudah, cukup!"

Rombongan Resimen Mahasiswa dengan sigap menghalau pertikaian, perusuh segera di dorong mundur ke luar ruangan.

"Yang kita lakukan saat ini bukanlah politik praktis namun politik moral," Hariz berdiri tegap berusaha menenangkan, "Maka setiap permasalahan yang ada, tolong kita selesaikan secara moral dan etika." tegas Hariz tanpa ragu.

Di luar ruangan, gerombolan perusuh tadi belum juga bubar. Rupanya mereka tersinggung dengan kalimat Hariz, "Politik moral?" ujarnya meniru, " Apa maksudnya kita ini, gak punya moral, blangsak gitu!" ungkapnya memprovokasi teman-teman yang lain.

"Wah, kurang ajar banget, sih!" tanggap yang lain.

"Anak mana ketua KPU itu, kita selesaikan malam ini aja, Bang!" pungkas salah satu mereka dan diikuti anggukan yang lain.

***

Malam semakin larut. Tahapan perhitungan suara tiba pada pembacaan keputusan. Paslon nomor 2 ditetapkan sebagai pemenang.

"Tuk tuk tuk." palu sidang diketuk tiga kali tanda rapat telah selesai.

Seluruh tim KPU Universitas yang dijuluki the orange, terutama rombongan kaum hawa, mulai meninggalkan lokasi dengan pengamanan dari Resimen Mahasiswa. Hariz khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada timnya.

Hariz pulang paling akhir bersama tim intinya, Budi dan Galuh. Tanpa ada firasat aneh sedikitpun mereka pulang menuju sekretariat KPU untuk istirahat, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.

Jalanan di setiap sudut kampus sangat gelap. Sudah menjadi rahasia umum, jika malam tiba, kampus ini seperti hilang ditelan bumi. Terlebih lagi jalanan menuju sekretariat KPU. Hanya ada satu lampu di pertigaan jalan, setelahnya hanya ada lubang pemantik emosi.

"Eh, eh, Kenapa berhenti, Bud?" tanya Hariz terkejut saat Budi menekan rem mendadak.

"Tuh lihat, ada orang mau jual nyawanya!" Geram Budi sambil melentikkan jari dan leher.

Belum juga selesai jantung Hariz berdegup, karena melihat puluhan gerombolan perusuh tadi menghadang. Tiba-tiba dari belakang terlihat kakak, teman, dan adik di organisasi Lembaga Dakwah Fakultas. Bukan hanya Fakultasnya tetapi juga dari Fakultas lain. Hampir lengkap kecuali LDF Kedokteran, mungkin mereka sedang praktek sentil Hariz dalam hati. Mereka berbaris rapi menunggangi motor berboncengan. Hariz seakan melihat perang Uhud di depan mata segera pecah.

Ah, masih ada satu rombongan lagi, "Siapa itu?" gumam Hariz pelan sembari menyipitkan mata, "Ha, Fattah?"

Fattah segera merengsek maju ke depan, "Iya Riz, aku dapat info kamu akan di keroyok!"

 Hariz terkejut dengan informasi itu, "Ha, dikeroyok? Emang aku salah apa?" ucapnya keheranan.

"Entahlah, walaupun kami tidak pro demokrasi, tetapi jika saudara seiman kami dizalimi, kami siap pasang badan, Riz!" getir Fattah yang diamini oleh rekan Gemanya yang lain.

Masing-masing kubu telah bersiap dengan kekuatannya masing-masing. Gerombolan perusuh tadi, juga sudah menghubungi anak-anak Mapala kampus agar mengirimkan bala bantuan. Hariz seakan melihat nyata perpecahan Pilpres tahun lalu. Masyarakat terbelah menjadi dua bagian. Kini ia melihat kelompok Islam seakan berbenturan dengan kelompok sebutlah nasionalis.

Sebelum perang itu benar-benar pecah, "Teman-teman pemilu ini sudah berakhir." letih Hariz menutup.

-Sekian-

Berikan komentar terbaikmu :)

Peradaban Muda . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates