Cerita Astaman Kecil
Taman Kanak-kanak
Perjalanan panjang ini
dimotori oleh mesin waktu. Perlahan namun pasti yang mungil jadi kecil,
si kecil berangsur remaja, anak remaja kini beranjak dewasa. Andai setiap perubahan itu terdokumentasi dengan rapi, betapa leganya. Andai saja pada hal-hal itu terdapat hikmah yang dapat terekam jelas, alangkah nikmatnya. Kalau begitu, sejarah memang harus disimpan, disusun urut, dan dikunci rapat agar tak hilang tergerus zaman
Ketika
TK misalnya. Masa kanak-kanak belum mengerti apa-apa selain menangis
saat jemputan belum jua tiba. Pernah juga tertidur beralaskan anak
tangga hingga terik menyusut. Sesekali berteriak kala sang ayah pergi
sendiri tak ajak anak lanang buah hati, "Ubaakk, ubaak!" Pekiknya
khawatir ditinggal.
Ah, bocah. Selain ranting dan dedaunan masa itu juga pernah membuatku tenang, meski kita tahu kelak, itu hanya sementara.
Memasuki Sekolah Dasar
Kekanak-kanakan sering kali kita sematkan
pada mereka yang mudah tersinggung, menangis, dan bersikap kurang bijak
terhadap masalah tertentu. Bermacam watak yang tidak dewasa
dirangkum dalam istilah tersebut; kekanak-kanakan. Walau sebenarnya
kekanak-kanakan ini, aku suka sekali. Maknanya seakan-akan menisbatkan
sebuah ketidaktahuan seorang insan. Menariknya adalah ketidaktahuan. Itu senjata yang mudah-mudahan bisa mengampuni kita dari dosa.
Bisa
dikatakan ini adalah masa-masa kejayaan seorang anak kecil. Waktu studi
paling lama namun tiada beban berarti, semua enjoy like be happy.
Tidak kurang dari 6 tahun pekerjaannya menggandrungi berbagai bentuk dan
rupa permainan. Kita sebut saja beberapa seperti: Petak umpet, kelereng,
cap-capan, buah masak, cak ingking, kiyu-kiyu, dan lain sebagainya
dengan nama uniknya masing-masing. Semua puncak permainan ada di
masa-masa ini: Sekolah Dasar.
Untungnya, masa SD-ku juga
merasakan hal demikian. Sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga
tempat bermain. Namun tidak berhenti di sekolah, masa itu juga agenda
bermain merebak hingga ke sudut-sudut desa.
Akan ku ingat memori
sekolah dasar 12-18 tahun yang lalu. Bocah ini, Setiap hari
senin mengikuti upacara dan hampir setiap hari itu juga ia mempunyai
dasi atau topi baru yang dibeli setiap senin pagi di pasar dekat sekolah.
Entah apa yang ia lakukan hingga topi dan dasinya selalu tak tentu
dimana saat dibutuhkan.
Bocah ini juga dikenal pintar dan
rajin, ia pernah dipuji gurunya langsung di depan kelas. Sudah mandiri
dan bisa pulang sendiri, tidak seperti ia beberapa tahun yang lalu:
menangis jikalau tak dijemput. Tubuhnya saat itu tak terlalu besar,
bahkan hampir masuk deretan yang kecil-kecil. Maklum sebab itulah juga
ia dikenal imut.
Menjelang Akhir Sekolah Dasar
Ketika kelas 4
SD bocah ini mulai melebarkan sayap. Ia bermain hingga keluar sekolah
saat guru tidak masuk kelas. Salah satu tempat favoritnya adalah tempat
main dindong. Uang receh di kantong memang untuk main itu. Beruntung itu
bukan permainan judi, hanya games biasa sekadar bahan obrolan anak zaman
dulu.
Ketika jam pelajaran olahraga, lari mengelilingi
sekolah dari luar pagar adalah kewajiban sebagai wujud pemanasan. Momen
ini tak disia-siakan, bermodal kecepatan lari dan sedikit kata, "nyicip
sikok (satu) ya, bik!" buah duku di pinggir-pinggir jalan milik pedagang berhasil didapat dan dilahap, gratis.
Alhamdulillah, saat itu bocah ini tidak
tahu duku yang ia ambil itu adalah haram jika tak di ridhoi penjual.
Makanya, masa itu juga termasuk hari-hari yang menenangkan selain Taman Kanak-kanak dan
menjadi daun atau ranting yang gugur. Sebab, ada senjata ketidaktahuan.



Berikan komentar terbaikmu :)