Tuesday, 10 November 2020

Taman Kanak-kanak

Perjalanan panjang ini dimotori oleh mesin waktu. Perlahan namun pasti yang mungil jadi kecil, si kecil berangsur remaja, anak remaja kini beranjak dewasa. Andai setiap perubahan itu terdokumentasi dengan rapi, betapa leganya. Andai saja pada hal-hal itu terdapat hikmah yang dapat terekam jelas, alangkah nikmatnya. Kalau begitu, sejarah memang harus disimpan, disusun urut, dan dikunci rapat agar tak hilang tergerus zaman

Ketika TK misalnya. Masa kanak-kanak belum mengerti apa-apa selain menangis saat jemputan belum jua tiba. Pernah juga tertidur beralaskan anak tangga hingga terik menyusut. Sesekali berteriak kala sang ayah pergi sendiri tak ajak anak lanang buah hati, "Ubaakk, ubaak!" Pekiknya khawatir ditinggal.

Ah, bocah. Selain ranting dan dedaunan masa itu juga pernah membuatku tenang, meski kita tahu kelak, itu hanya sementara.

 

Memasuki Sekolah Dasar

Kekanak-kanakan sering kali kita sematkan pada mereka yang mudah tersinggung, menangis, dan bersikap kurang bijak terhadap masalah tertentu. Bermacam watak yang tidak dewasa dirangkum dalam istilah tersebut; kekanak-kanakan. Walau sebenarnya kekanak-kanakan ini, aku suka sekali. Maknanya seakan-akan menisbatkan sebuah ketidaktahuan seorang insan. Menariknya adalah ketidaktahuan. Itu senjata yang mudah-mudahan bisa mengampuni kita dari dosa.

Bisa dikatakan ini adalah masa-masa kejayaan seorang anak kecil. Waktu studi paling lama namun tiada beban berarti, semua enjoy like be happy. Tidak kurang dari 6 tahun pekerjaannya menggandrungi berbagai bentuk dan rupa permainan. Kita sebut saja beberapa seperti: Petak umpet, kelereng, cap-capan, buah masak, cak ingking, kiyu-kiyu, dan lain sebagainya dengan nama uniknya masing-masing. Semua puncak permainan ada di masa-masa ini: Sekolah Dasar.

Untungnya, masa SD-ku juga merasakan hal demikian. Sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat bermain. Namun tidak berhenti di sekolah, masa itu juga agenda bermain merebak hingga ke sudut-sudut desa.

Akan ku ingat memori sekolah dasar 12-18 tahun yang lalu. Bocah ini, Setiap hari senin mengikuti upacara dan hampir setiap hari itu juga ia mempunyai dasi atau topi baru yang dibeli setiap senin pagi di pasar dekat sekolah. Entah apa yang ia lakukan hingga topi dan dasinya selalu tak tentu dimana saat dibutuhkan.

Bocah ini juga dikenal pintar dan rajin, ia pernah dipuji gurunya langsung di depan kelas. Sudah mandiri dan bisa pulang sendiri, tidak seperti ia beberapa tahun yang lalu: menangis jikalau tak dijemput. Tubuhnya saat itu tak terlalu besar, bahkan hampir masuk deretan yang kecil-kecil. Maklum sebab itulah juga ia dikenal imut.


Menjelang Akhir Sekolah Dasar

Ketika kelas 4 SD bocah ini mulai melebarkan sayap. Ia bermain hingga keluar sekolah saat guru tidak masuk kelas. Salah satu tempat favoritnya adalah tempat main dindong. Uang receh di kantong memang untuk main itu. Beruntung itu bukan permainan judi, hanya games biasa sekadar bahan obrolan anak zaman dulu.

Ketika jam pelajaran olahraga, lari mengelilingi sekolah dari luar pagar adalah kewajiban sebagai wujud pemanasan. Momen ini tak disia-siakan, bermodal kecepatan lari dan sedikit kata, "nyicip sikok (satu) ya, bik!" buah duku di pinggir-pinggir jalan milik pedagang berhasil didapat dan dilahap, gratis.

Alhamdulillah, saat itu bocah ini tidak tahu duku yang ia ambil itu adalah haram jika tak di ridhoi penjual. Makanya, masa itu juga termasuk hari-hari yang menenangkan selain Taman Kanak-kanak dan menjadi daun atau ranting yang gugur. Sebab, ada senjata ketidaktahuan.


Berikan komentar terbaikmu :)

Peradaban Muda . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates