Tuesday, 29 May 2018

Sumber: https://www.rollingstone.com/
“Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?” Tanya Rasulullah saat giliran Ka'ab bin Malik yang menghadap setelah delapan puluh orang lain yang tidak ikut dalam perang Tabuk membawa alasannya masing-masing.

Ka'ab pun menjawab, “Ya Rasulullah! Demi Allah. Kalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain, tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dan dalil lainnya. Namun, demi Allah. Aku sadar kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkau pun menerima alasan kebohonganku, aku khawatir Allah akan membenciku. Kalau kini aku bicara jujur, kemudian karena itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kealpaanku. Ya Rasululah, demi Allah, aku tidak punya uzur. Demi Allah, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil dibanding tatkala aku mengikutimu itu!”

Rasulullah berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”

Dialog tersebut adalah bagian dari cerita Ka'ab bin Malik yang diriwayatkan Abdullah bin Ka’ab bin Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik. Sebuah pengakuan kesalahan dan kesiapan untuk menerima konsekuensi atas kesalahan tersebut. Ka'ab bin Malik meyakini bahwa tak ada gunanya ia berbohong kepada Allah dan Rasul-Nya yang Mulia. Kita tahu nantinya dalam kisah tersebut Ka'ab bin Malik beserta dua orang beriman lainnya mengalami pengasingan untuk beberapa waktu sampai Allah Subhana wa Ta'ala menerima taubatnya. 

Salah satu pelajaran dari peristiwa perang Tabuk adalah kisah seorang Ka'ab bin Malik dan penangguhan taubatnya. Belakangan kita tahu bahwa sebagai manusia, tentu tidak akan pernah luput dari khilaf dan dosa. Memangnya siapa kita? bebas mendeklarasikan diri dari kesalahan, beraninya mengklaim Allah akan mengampuni tanpa ada ikhtiar bertaubat, atau coba-coba untuk tenang karena amal rasa-rasanya sudah cukup. 

Ba'da kekeliruan yang dilakukan tidak ada pilihan yang paling tepat selain mengakui kesalahan dan bertaubat serta berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Seperti Ka'ab bin Malik yang mengakui kekeliruannya dan berkata jujur terhadap nabi sampai dengan kesedihan yang ia rasakan dalam masa-masa penangguhan. Beliau sudah memberikan tauladan untuk kita semua bahwa, seperti inilah seharusnya yang dilakukan seorang hamba dalam proses memohon ampunan terhadap Sang Pencipta. Apalagi di bulan Ramadhan ini bukan sekedar amal dilipatgandakan atau setan dibelenggu, yang tak kalah penting dibulan ini Allah buka ampunan seluas-luasnya bagi hambanya yang bersungguh-sungguh. Yuk Berjuang.


Berikan komentar terbaikmu :)

Peradaban Muda . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates